SEJARAH PEMERINTAHAN INDONESIA DARI 17 AGUSTUS 1945 HINGGA 1968
MATA KULIAH:
SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA
A.
PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA
Pada tanggal 6 Agustus 1945, jatuhlah bom atom
Amerika Serikat di kota
Hiroshima. Pemimpin-pemimpin Jepang mengetahui bahwa negaranya telah
mendekati Begitu juga Jenderal Terauchi,
Panglima Angkatan Perang Jepang untuk Asia Tenggara yang berkedudukan di Saigon. Agar tidak kehilangan muka
terhadap bangsa Indonesia, Jenderal
Terauchi pada tanggal 7 Agustus 1945 mengeluarkan pernyataan bahwa
Indonesia di kemudian hari akan diberikan kemerdekaan sebagai
anggota Kemakmuran Bersama Asia Timur (akan
diberikan pada tanggal 24-8-1945).
Untuk menerima petunjuk-petunjuk tentang
penyelenggaraan kemerdekaan
itu, Ir Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, dan Dr. Radjiman Wedyodiningrat diminta
datang ke Saigon pada tanggal 9 Agustus 1945. Tetapi ketika bom atom
kedua meledak di Nagasaki, Jepang tak ada kesempatan dan tak
punya kekuasaan lagi untuk memikirkan nasib bangsa lain
Pada tanggal 15 Agustus 1945 menyerahlah
Jepang tanpa syarat kepada
sekutu. Lenyaplah janji kemerdekaan" dari Jenderal Terauchi. Dengan penandatanganan
penyerahan Jepang tanpa syarat pada tanggal 2 September 1945 geladak perang Amerika “Missori” lenyap pulalah
cita-cita Jepang untuk membentuk Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya di
bawah pimpinannya.
Berhubung dengan kekalahan Jepang itu,
maka padajam 10.00 pagi,nhari
Jumat tanggal 17Agustus 1945, di depan gedung Jalan Pegangsaan Timur No. 56 (sekarang
Jalan Proklamasi) Jakarta, Proklamasi Kemerdekaan Bangsa dan Tanah Air
Indonesia diumumkan kepada dunia:
Indonesia Merdeka! Indonesia siap untuk mempertahankan kemerdekaannya
Pada tanggal 17 Agustus 1945 itu
sampailah perjuangan rakyat Indonesia
mengantarkan rakyat dan bangsa Indonesia ke"Jembatan Emas Kemerdekaan namun kemerdekaan itu
harus dibela dan dipertahankan
B.
ARTI PROKLAMASI KEMERDEKAAN
INDONESIA
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17
Agustus 1945,
adalah sumber
hukum bagi pembentukan
Negara Kesatuan RI. Proklamasi kemerdekaan itu telah
mewujudkan negara RI dari Sabang hingga Merauke. Namun, negara
yang diproklamasikan kemerdekaannya
itu bukanlah
merupakan tujuan semata-mata, melainkan hanyalah alat untuk mencapai cita-cita
bangsa dan tujuan negara, yakni membentuk masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila
Adapun arti Proklamasi dalam garis
besarnya, yaitu:
a. lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia,
b. puncak perjuangan
pergerakan kemerdekaan, setelah berjuangberpuluh-puluh tahun sejak 20 Mei 1908;
c. titik
tolak pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat. Sejarah pemerintahan Indonesia
bermula semenjak bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada tanggal 17Agustus 1945.
Sebelum itu, sejarah bangsa Indonesia
adalah sejarah suatu bangsa yang
bergerak dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaannya kembali dari tangan penjajahan Semenjak hari
proklamasi kemerdekaan itu, sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah dari
suatu bangsa yang merdeka dan bernegara, sejarah bangsa Indonesia
menyusun pemerintahannya.
Dasar-dasar pemerintahan suatu negara
pada umumnya terletak dalam
undang-undang dasar dari bangsa yang bersangkutan. Bagi bangsa Indonesia, sejarah
pemerintahannya telah mulai sejak berlakunya UUD ke-1: Undang-Undang
Dasar Proklamasi 1945 (UUD 1945) pada tanggal 18 Agustus 1945
C.
LAHIRNYA PEMERINTHN INDONESIA
Pada tanggal 29
April pemerintah Jepang di
Jakarta membentuk Badan Dokuritsu
Junbi Tyoosakai atau
Badan Penyelidik
Persiapan Kemerdekaan (BPPK), Badan ini berangotakan 62
orang dan diketuai oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat.
walaupun menggunakan siasat bekerjasama dengan Jepang, namun pada cita-citanya untuk membelokan
tujuan tindakan-tindakan pemerintah jepang kearah yang mereka cita-citakan.
BPPK
ternyata segera keluar dari batas-batas
Tindakan-tindakan BPPK ternyata
segera keluar dari batas-batas tugas yang diberikan
kepadanya oleh pemerintah Jepang. Tidak saja badan itu sekadar
"menyelidiki segala sesuatu mengenai persiapan kemerdekaan
Indonesia", tetapi badan ini langsung membicarakandasar-dasar negara
Indonesia Merdeka dan merencanakan Undang-Undang Dasar Indonesia.
Selama berdirinya, BPPK mengadakan
sidang dua kali, yakni: dari tanggal
29 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, dan dari tanggal 10 sampai 16 Juli 1945.
BPPK membentuk suatu panitia perumus, suatu panitia kecil yang
ditugaskan untuk merumuskan hasil-hasil perundingan badan itu.
Panitia perumus ini mempunyai 9 orang
anggota, yakni: Ir. Soekarno, Drs.
Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso Abdulkahar Muzakkir,
Haji Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo, K.H.A Wahid Hasyim, dan Mr
Muhammad Yamin. Panitia tersebut pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil
menyusun rancangan Pembukaan UNdang-Undang
Dasar 1945.
Di samping itu, BPPK telah pula berhasil
menyusun sebuah rancangan
Undang-Undang Dasar Indonesia Merdeka pada tanggal 16 juli 1945. Setelah selesai menyusun
rancangan Undang-Undang Dasar Indonesia, BPPK dibubarkan dan
sebagai gantinya pada tanggal 9 Agustus 1945
dibentuk sebuah badan baru yang disebut Dokuritsu
Junbi inkai atau
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
PPKI ini dibentuk setelah Soekarno, Drs.
Mohammad Hatta, Dr
Radjiman wedyodiningrat kembali dari Saigon untuk memenuhi
undangan Jenderal Terauchi. Ketua
PPKI adalah Ir. Soekann
Drs.
Moh. Hatta sebagai wakil ketuanya. Para anggota PPKI adalah pemimpin-pemimpin rakyat yang terkenal.
Mereka mewakili daerah dari seluruh
wilayah Indonesia. Pada waktumpendiriannya,
PPKI mempunyai 21 orang
anggota. Kemudian setelah Jepang
menyerah kepada sekutu, PPKI ditambah anggotanya 6 orang sehingga menjadi 27
orang dan dijadikan sebuah panitia nasional
Melihat susunan anggotanya yang mewakili
seluruh wilayah tanah air
kita dan seluruh lapisan masyarakat yang ada di Indonesia, maka pada waktu itu PPKI
dapat dianggap sebagai suatu "Badan
Perwakilan'' seluruh
rakyat Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945 disaksikan juga oleh PPKI. Keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945, PPKI
mengadakan sidangnya dan menetapkan:
a. Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945;
b. Undang-Undang
Dasar 1945;
c. memilih
Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden
Republik Indonesia;
d. pekerjaan
Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh sebuah Komite Nasional;
Sidang tanggal 19 Agustus 1945
menetapkan;
a. pembentukan
12 departemen pemerintahan;
b. pembagian
wilayah Indonesia dalam8provinsi dan tiap provinsi dibagike dalam keresidenan-keresidenan
Dengan terpilihnya Presiden dan Wakil
Presiden atas dasar UUD 1945
itu, secara formal sempurnalah Negara Republik Indonesia. Sejak saat itu, semua syarat
yang lazim diperlukan oleh setiap organisasi negara telah ada, yaitu:
adanya rakyat negara tertentu, adanya wilayah Negara tertentu, adanya kedaulatan,
adanya pemerintahan dan
tujuan tertentu yakni
sebagai berikut;
a. Rakyat
Negara Indonesia, yakni bangsa Indonesia
b.
Wilayah Negara
Indonesia, yaitu tanah air Indonesia yang terdiri dari 17,508 buah pulau
besar dan kecil
c. Kedaulatan
Negara Indonesia telah ada semenjak pengucapan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
d. Pemerintahan
Negara Indonesia telah ada semenjak terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden atas dasar UUD 1945 sebagai
pucuk pimpinan
pemerintahan dalam negara
e.
Tujuan negara ialah
mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila.
f. Bentuk Negara Indonesia menurut Pasal 1
ayat (1) UUD 1945 ialah
Negara Kesatuan
Pengakuan terhadap negara Indonesia
mula-mula datang dari Mesir pada
tanggal Maret 1947, kemudian disusul oleh berpuluh-puluh negara lainnya. Pada tanggal
28 September 1950, Indonesia dengan resmi menjadi anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai anggota ke-60.
Seperti sudah dijelaskan di atas, PPKI
telah menetapkan UUD 1945 pada
tanggal 18Agustus 1945.Adapun yang dimaksudkan dengan UUD 1945 itu ialah
Konstitusi Republik Indonesia yang pertama yang terdiri dari berikut ini;
a. Pembukaan,
meliputi 4 alinea (yang berasal dari naskah Pembukaan UUD yang disusun oleh
Panitia Kecil pada tanggal 22 Juni
1945)
b. Batang
Tubuh atau Isi UUD 1945 meliputi: 16 bab, 37 pasal, 4 pasalAturan Peralihan dan
2 ayat Aturan Tambahan (yang berasal dari rancangan UUD tanggal
16 Juli 1945 disusun oleh BPPK)
c.
Penjelasan resmi UUD
1945 (disusun oleh Prof. Dr. R. Supomo, S.H.)
Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan oleh
PPKI didasarkan pada naskah
rancangan Pembukaan UUD yang kemudian dikenal dengan nama "Piagam
Jakarta" tanggal 22 Juni 1945 (dengan perubahan seperlunya di
sana-sini), hasil karya Panitia Kecil (9 orang dari"Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan” (Dokuritsu junbi Tyosakai) yang keseluruhnya
beranggotakan 62 orang dan dibentuk oleh pemerintah Jepang
pada
tanggal 29 April 1945
Adapun UUD 1945 yang ditetapkan itu
berasal dari rancangan UUD 16
Juli 1945 yang disusun oleh badan penyelidik juga sesudah mengalami Kemerdekaan pertumbuhan
selanjutnya, Panitia Persiapan Indonesia
menjadi inti Komite Nasional yang kemudian dinamakan Komite
Nasional Pusat (KNP) sesudah ditambah dengan pemimpin-pemimpin
rakyat dari segala golongan aliran dan lapisan seperti pangrehpraja, alim
ulama, kaum pergerakan pemuda, kaum pedagang
dan
lain-lain.
Pembukaan UUD 1945 terdiri dari empat
alinea dan pokok-pokok pikiran yang terpenting
di dalamnya ialah;
a. Negara
Indonesia haruslah suatu negara yang berdasarkan aliran pengertian negara
persatuan (paham unitarisme)
b.
Dasar Negara Indonesia
yang terkenal dengan Pancasila, yaitu;
-
Ketuhanan Yang Maha
Esa,
-
Kemanusiaan yang adil
dan beradab
-
Persatuan Indonesia;
-
Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalampermusyawaratan/perwakilan;
-
Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Pokok-pokok pikiran
tersebut meliputi suasana kebatinan dari UUD Negara Indonesia. UUD
menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya.
UUD 1945 seluruhnya terdiri dari 37
pasal, 4 pasal Aturan Peralihan, dan
2 ayat Aturan Tambahan beserta penjelasan UUD 1945.
Sistem pemerintahan negara yang
ditegaskan dalam UUD 1945, beserta
penjelasannya ialah;
- Indonesia
ialah negara yang berdasar atas hukum;
- Sistem
konstitusional, yang berarti bahwa pemerintahan berdasaratas konstitusi
(hukum dasar), jadi tidak bersifat kekuasaan yangtidak terbatas
(absolutisme);
- Kekuasaan negara
yang tertinggi berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR);
- Presiden ialah
penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah MPR;
- Presiden tidak
bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
- Menteri negara
ialah pembantu Presiden; Menteri Negara tidak bertanggung jawab
kepada DPR
- Kekuasaan kepala
negara tidak tak terbatas, karena kepala negara harus bertanggung
jawab kepada MPR dan kecuali itu ia harus memperhatikan
sungguh-sungguh suara DPR,
- DPR tidak dapat
dibubarkan oleh Presiden.
D.
KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA MENURUT UUD 1945
Adapun Undang-Undamg Dasar
Repunlik Indonesia yang telah ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan pada
hari Sabtu, tanggal 18 Agustus 1945 dan
mulai berlaku pada hari itu juga, antara lain memuat Bab III yang berjudul : “kekuasaan pemerintah negara”. Bab III
ini terdiri atas 12 pasal yaitu pasal 4 sampai pasal 15.
Pasal 4 berbunyi sebagai berikut: Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan
pemerintah menurut
undang-undang dasar; dalam melakukan Presiden dibantu oleh satu orang Wakil
Presiden.
Pasal 5 menentukan:
Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang
dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; Presiden menetapkan peraturan
pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Kemudian menyusul Pasal 6 tentang syarat
bahwa Presiden harus orang
Indonesia aslidan Presiden serta Wakil Presiden dipiliholeh Majelis Permusyawaratan Rakyat
dengan suara terbanyak. Pasal 7 mengenai lamanya Presiden dan
Wakil Presiden memegang jabatannya. Pasal 8 tentang perwakilan oleh
Wakil Presiden jika Presiden berhalangan dan Pasal 9 mengenai sumpah
janji Presiden dan Wakil Presiden.
Selanjutnya, Pasal 10 sampai dengan
Pasal 15 menerangkan beberapa
hak Presiden yaitu bahwa menurut Pasal 10 Presiden memegang kekuasaan yang
tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan
Udara. Pasal 11 menentukan bahwa Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan
perjanjian dengan negara lain. Pasal 12 mengenai hak Presiden menyatakan
keadaan bahaya, syarat-syarat, dan akibatnya keadaan bahaya
ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 13 mengenai hak Presiden mengangkat duta dan konsul serta
menerima duta negaralain. Pasal 14 menerangkan hak Presiden memberi grasi,
amnesti, abolisidan rehabilitasi, sedangkan Pasal 15 mengenai hak Presiden
memberi gelar,
tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan
Beberapa hak ini dinamakan juga hak
prerogatif Presiden. Kemudian terdapat
Bab V tentang Kementerian Negara. Bab ini hanya mempunyai satu pasal, yaitu Pasal
17 yang berbunyi: Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, menteri-menteri itu
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
dan menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan
Selanjutnya, ada Bab VII tentang Dewan
Perwakilan Rakyat yang terdiri
atas Pasal 19 sampai dengan Pasal 22
Pasal 19 mengenai susunan Dewan
Perwakilan Rakyat dan waktu sidangnya
Pasal 20 menentukan, bahwa tiap-tiap
undang-undang menghendaki persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat, jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak
boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa
itu
Pasal 21 mengenai hak inisiatif Dewan
Perwakilan Rakyat yang berbunyi:
Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan rancangan
undang-undang. Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden maka rancangan tadi
tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat
masa itu.
Akhirnya, Pasal 22 mengatur keadaan darurat.
Menurut pasal itu bahwa:
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Peraturan pemerintah itu harus mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka
peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Kemudian ada Bab IX tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang terdiri dari
2 pasal, yaitu Pasal 24 dan 25
Pasal 24 berbunyi: Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Susunan dan
kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang
Pasal 25 menentukan pula, bahwa:
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk
diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang
Dari bab-bab tersebut di atas ternyata
bahwa Undang-Undang Dasar 1945
tidak membedakan dengan tegas antara kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif,
kekuasaan yudikatif seperti Montesquieu lengkapnya: Charles Louis secondat,
Baron de La Brede et Montesquieu) dengan Trias
Politica-nya. Malahan Bab IIL Kekuasaan Pemerintahan Negara
meliputi kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif, termasuk
hak-hak prerogatif. Selanjutnya, kekuasaan legislative diatur juga dalam Bab
VII mengenai Dewan Perwakilan Rakyat, sedang kekuasaan eksekutif
juga pada Bab V mengenai Kementerian Negara.
Di
samping itu, kekuasaan Konstituante, yaitu kekuasaan mengenai atau undang-undang
dasar, diatur di bagian lain, yaitu di Bab II mengenai
Permusyawaratan Rakyat, Pasal 3
yang berbunyi: Permusyawaratan
Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan
di Bab XVI tentang Perubahan Undang-Undang
Dasar, Pasal 37 yang menentukan bahwa: untuk mengubah Undang-Undang
Dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat harus hadir. Putusan diambil dengan persetujuan
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
Oleh Pemerintah Republik Indonesia,
undang-undang dasar dan pasal-pasalnya
diberi penjelasan
Mengenai soal-soal yang tersebut di
atas, Penjelasan UUD 1945 itu berbunyi
sebagai berikut.
SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA
Sistem pemerintahan yang ditegaskan alam
undang-undang dasar,
ialah
I. Indonesia
ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat) Negara Indonesia
berdasar atas hukum (Rechtsstaat),
tidak berdasarkan
atas kekuasaan belaka (Machtsstaat)
II. Sistem
Konstitusional. Pemerintahan
berdasar atas konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan
yang tidak terbatas)
III. Kekuasaan
negara yang tertinggi berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat. (Die gesamte Staatsgewalt liegt allein bei
der Majelis).
Kedaulatan
rakyat di pegang oleh
suatu badan bernama "Majelis
Permusyawaratan Rakyat", sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des
Willens des Staatsvolk)
Majelis
ini menetapkan undang-undang dasar dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan
Negara. Majelis ini mengangkat kepala Negara (Presiden) dan wakil
kepala negara wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan
negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut
garis-garis besar yang telah
ditetapkan oleh majelis. Presiden yang diangkat oleh majelis tunduk dan bertanggung
jawab kepada majelis. Ia adalah "mandataris"
dari majelis. Ia wajib menjalankan putusan-putusan majelis. Presiden tidak
"neben" akan tetapi "untergeordnet" kepada majelis
IV. Presiden
ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi di bawah majelis Di bawah Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang
tertinggi. Dalam menjalankan
pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden
(concentration of power and responsibility upon the
President)
V. Presiden
tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Di samping Presiden
adalah Dewan Perwakilan Rakyat Presiden
harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk undang-undang
(Gezetzgebung) dan untuk menetapkan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (Staatsbegrooting).
Oleh karena itu, Presiden harus bekerja bersama-sama dengan dewan, akan
tetapi Presiden tidak bertanggungjawab kepada dewan, artinya
kedudukan Presiden tidak tergantung dari dewan.
VI. Menteri
negara ialah pembantu Presiden; menteri negara tidak bertanggung jawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Presiden
mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri Negara Menteri-menteri itu
tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya tidak
tergantung pada dewan akan
tetapi tergantung pada Presiden
VII.
Kekuasaan kepala negara
tidak tak terbatas. Meskipun kepala negara
tidak bertanggung jawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat , ia bukan diktator artinya kekuasaan tak
terbatas.
Diatas telah ditegaskan,
bahwa ia bertanggung jawab kepada Majlis
Permusyawaratan Rakyat. Kecuali itu, ia harus memeperhatikan sunguh-sungguh usaha Dewan
Perwakilan Rakyat
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah
kuat. Dewan dapat dibubarkan oleh Presiden (berlainan dengan sistem
parlementer) Kecuali
itu, anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat semuanya merangkap menjadi anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh
karena
itu, Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan
Presiden, dan jika dewan menganggap bahwa presiden sungguh melanggar
haluan negara yang telah ditetapkan oleh undang-undang dasar atau oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, maka majelis
itu
dapat diundang untuk persidangan istimewa supaya bisa
mintapertanggungjawaban kepada Presiden.
Menteri-menteri negara bukan pegawai
negeri biasa melainkan pegawai
tinggi negara
Meskipun kedudukan menteri negara
tergantung pada Presiden, akan tetapi
mereka bukan pegawai negeri biasa, oleh karena menteri-menterilah yang terutama
menjalankan kekuasaan pemerintah (executive
power) dalam praktik
Sebagai pemimpin departemen, menteri
mengetahui seluk beluk hal-hal yang mengenai lingkungan pekerjaannya. Berhubung
dengan itu, menteri
mempunyai pengaruh besar terhadap Presiden dalam menentukan politik
negara yang mengenai departemennya. Memang yang dimaksudkan ialah para
menteri itu pemimpin-pemimpin Negara
Untuk menetapkan politik pemerintah dan
koordinasi dalam pemerintahan
negara, para menteri bekerja bersama satu sama lain seerat-eratnya di bawah
pimpinan Presiden.
E.
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DALAM MASA PERALIHAN
Menurut bunyi Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, maka sebelum MPR,
DPR, dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dibentukmenurut UUD 1945 segala kekuasaannya dijalankan
oleh Presiden dengan bantuan sebuah
Komite Nasional. Jelas menurut ketentuan ini bahwa segala kekuasaan kenegaraan
dalam masa peralihan berada dalam tangan
Presiden, sedangkan Komite Nasional
adalah semata-mata pembantu Presiden, jadi hanya sekedar memberikan
pertimbangan-pertimbangan dan usul-usul.
Komite Nasional yang dimaksud di sini
dilantik pada tanggal 29 Agustus
1945 dengan anggota lebih kurang 150 orang. Sebagai inti ialah para anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang sebelumnya merupakan badan pendahuluan
Komite Nasional. Jumlah susunan
Komite Nasional ini kemudian mengalami beberapa perubahan dan terakhir atas dasar
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 6 tanggal 30
Desember 1946 diperbanyak menjadi 400 orang
Adapun kedudukan Komite Nasional ini
kemudian mengalami perubahan
dengan pengeluaran Maklumat No. X tanggal
16 Oktober 1945
(ditandatangani oleh Wakil Presiden RI Moh. Hatta)
Naskahnya adalah sebagai berikut.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Sesudah
mendengar pembicaraan oleh Komite Nasional Pusat tentang usul supaya MPR dan DPR
dibentuk, kekuasaannya yang hingga sekarang dijalankan oleh Presiden dengan
bantuan Komite Nasional menurut
Pasal IV Aturan Peralihan dari UUD, hendaklah dikerjakan oleh Komite Nasional
Pusat dan supaya pekerjaan Komite Nasional Pusat itu sehari-harinya
berhubungan dengan gentingnya
keadaan dijalankan oleh
sebuah badan bernama Dewan Pekerja yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional
Pusat.
Menimbang,
bahwa di dalam keadaan yang genting ini perlu ada badan yang ikut bertanggung
jawab tentang nasib bangsa Indonesia di sebelah pemerintah. Menimbang
selanjutnya, bahwa usul tadi berdasarkan paham kedaulatan rakyat.
Bahwa Memutuskan
Komite
Nasional Pusat, sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi kekuasaan
legislatif dan ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara serta
menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya
keadaan dijalankan oleh sebuah Badan
Pekerja yang dipilih di antara mereka dan bertanggung jawab kepada Komite Nasional
Pusat
Jakarta, 16 Oktober 1945
Wakil
Presiden Republik Indonesia
Mohammad
Hatta
Dengan berlakunya Maklumat No. x ini,
maka kedudukan KNP bukan
lagi badan''pembantu" semata-mata, tetapi menjadi badan"yang berwenang penuh bersama-sama dengan
Presiden melaksanakan wewenang
"perundang-undangan (menurut Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 Pasal 21, dan Pasal 22
ayat (2) UUD 1945) dan malahan ikut pula menetapkan Garis-Garis
Besar Haluan Negara (sebagian tugas MPR yang tersebut dalam
Pasal 3 UUD 1945). Badan Pekerja KNP yang mula-mula dibentuk
sebagai pelaksana Maklumat No.x beranggotakan 15 orang.
Adapun sistem kabinet menurut UUD 1945
adalah yang disebut sistem
kabinet presidensial (presidential
government) artinya para menteri
negara tidak bertanggung jawab kepada DPR. Sistem cabinet ini kemudian mengalami
perubahan dengan terbentuknya cabinet bertanggung jawab yang pertama, Kabinet
Syahrir I, pada tanggal 14 Desember
1945. Perubahan ini mula-mula diusulkan oleh Badan Pekerja KNP yang kemudian
diterima oleh Presiden.
Presiden lalu mengeluarkan Maklumat
Pemerintah tanggal 14 Desember
1945, yang antara lain menegaskan perihal: "tanggungjawab adalah dalam tangan
menteri”.
Sesudah Kabinet Syahrir I itu, maka
dalam sejarah pemerintahan RI
masih lagi dibentuk beberapa kabinet presidensial, tetapi hal itu dilakukan apabila
negara berada dalam keadaan luar biasa (genting) tetapi segera keadaan
itu berakhir, maka kembali dibentuk lagi cabinet yang bertanggung jawab
F.
TATA PEMERINTAHAN INDONESIA MENJELANG DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959 KEMBALI KEPADA UUD 1945
1. Masa
Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Seperti
telah dikemukakan, sejak permulaan kemerdekaan di kalangan bangsa Indonesia dikehendaki
sebuah Negara Kesatuan Negara
yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
"Negara Indonesia ialah Negara
Kesatuan, yang berbentuk Republik".
Nama negara ialah Republik Indonesia (RI) dan wilayah kekuasaannya ialah
seluruh wilayah bekas Hindia-Belanda dahulu
Tetapi ketika kembali ke Indonesia
sesudah akhir perang dunia kedua, Belanda
berusaha untuk mengubah susunan negara RI. Di samping kekerasan senjata yang
dilancarkan terhadap RI, Belanda menjalankan politik federalisme,
sebagai politik devide et impera
untuk memecah-belah persatuan bangsa
Pada tanggal 15 Juli 1946 di kota
Ujungpandang (Makassar diadakan upacara
Penyerahan Tanggung Jawab atas Kalimantan, Timur Besar, Bangka, dan Belitung
dari pimpinan angkatan perang negara-negara sekutu kepada
pemerintah Hindia-Belanda di bawah pimpinan Dr. HJ
Mook.
Pada tanggal 16 Juli 1946 mulailah
dibuka Konferensi Malino yang berlangsung
hingga tanggal 25 Juli 1946. Dari konferensi ini disusul oleh Konferensi
Pangkalpinang yang berlangsung dari tanggal 1-12 Oktober 1946, khusus untuk
mendengarkan pendapat golongan "minoritas" dalam
wilayah
yang dikuasai Belanda. Kemudian diikuti lagi oleh Konferensi Denpasar yang
berlangsung dari tanggal 7-24 Desember 1946. Konferensi ini melahirkan negara
yang pertama ialah Negara Indonesia Timur (NTT)
Semenjak itu, Van Mook membentuk
negara-negara dalam wilayah yang
dikuasainya, malahan
kemudian politik itu dijalankan pula dalam wilayah yang menurut
Persetujuan Linggarjati de facto
dikuasai Pemerintah
RI yakni di Jawa, Madura, dan Sumatra. Dengan
Demikian dalam tahun 1947
lahirlah negara-negara Madura, Pasundan, Sumatra Selatan, Jawa Timur,
dan lain sebagainya
Dengan politik federalisme ini Belanda
bermaksud memperlemah kedudukan
RI. Politik ini dipertahankannya terus dalam semua perundingan yang
diadakan dengan RI yang akhirnya mencapai taraf terakhir pada KMB di
Den Haag
Pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda
mengakui kedaulatan Negara
Republik Indonesia Serikat (RIS) dan dari saat itumulailah berlaku Konstitusi RIS (K-RIS).
Dengan berlakunya K-RIS untuk wilayah RIS maka UUD 1945, yang
mulanya berlaku untuk seluruh Indonesia, menjadi hanya berlaku dalam
wilayah RI sebagai sebuah negara bagian RIS
Konstitusi RIS adalah sebuah konstitusi
sementara, karena menurut Pasal
186
K-RIS, Konstituante (Sidang
Pembuat Konstitusi) bersama-sama
dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi RIS yang akan menggantikan
konstitusi sementara ini
Seperti telah dikemukakan,
permusyawaratan sekitar Konstitusi RIS ini telah dimulai semenjak Konferensi Antar-Indonesia
(wakil-wakil RI dan
PPF (BFO), baik di Yogyakarta (19-22 Juli 1949) maupun di Jakarta (31 Juli 2 Agustus
1949) dan dilanjutkan di Belanda selama berlangsungnya KMB.
Rancangan K-RIS ini digarap oleh wakil dari RI dan daerah-daerah
bagian di kota Scheveningen pada tanggal 29 Oktober 1949. Kemudian
rancangan ini disahkan oleh badan-badan perwakilan rakyat dan pemerintah-pemerintah daerah
bagian masing-masing di Indonesia.
Pada tanggal 14 Desember 1949, terjadilah penandatangana Piagam Konstitusi RIS
oleh pemerintah masing-masing. Sesuai dengan namanya, K-RIS ini
adalah sebuah konstitusi yang berlandaskan aliran federalisme
Bentuk Negara RIS ialah Negara Serikat
dan bentuk pemerintahan nya
ialah Republik (Pasal 1 ayat (1) K-RIS)
Kedaulatan Negara dilakukan oleh
pemerintah bersama-sama dengan
Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal l ayat (2) K-RIS). Mengenaimateri kedaulatan ini,
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan sebagai berikut.
“Kedaulatan
adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya olehMPR". Menurut
kata-katanya, maka K-RIS lebih condong kepadapaham kedaulatan rakyat. Lain
daripada itu RIS adalah suatu negara hukum
(Pasal 1 ayat (1) K-RIS).
Wilayah RIS yaitu wilayah bersama dari:
(1) Negara Republik Indonesi (dengan daerah statusquo Renville);
Negara Indonesia Timur;
Negara Pasundan, termasuk Distrik
Federal Jakarta;
Negara Jawa Timur;
Negara Madura;
Negara Sumatra Timur, dengan pengertian,
bahwa statusquoAsahan Selatan dan Labuhan Baru berhubungan dengan NST tetap berlaku;
Negara Sumatra Selatan.
(2) Satuan-satuan
kenegaraan yang tegak sendiri
Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan
Barat (Daerah
Istimewa) Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan
Kalimantan Timur.
(3) Daerah
Indonesia selebihnya yang bukan daerah bagian, yaitu Swapraja Kota Waringin
daerah Sabang, daerah Padang yang diperintah
oleh alat kelengkapan RIS.
Jadi, wilayah RIS terdiri atas wilayah
bersama:
- daerah-daerah
bagian, dan
- daerah-daerah
Indonesia selebihnya yang bukan daerah bagian.
Adapun seperti ternyata di atas, maka
daerah-daerah bagian RIS dibedakan
antara:
a. negara
bagian, dan
b. satuan-satuan
kenegaraan yang tegak sendiri.
Daerah-daerah bagian adalah
daerah-daerah yang dengan kemerdekaan
menentukan nasib sendiri bersatu dalam ikatan federasi RIS (Pasal 2 K-RIS),
alat-alat kelengkapan federal RIS ialah
(a)
Presiden
(b)
Menteri
(c)
Senat
(d)
Dewan Perwakilan Rakyat
(e)
Mahkamah Agung
(f)
Dewan Pengawas Keuangan
Menurut ketentuan Pasal 68 ayat (1)
K-RIS Presiden dan mentei menteri
bersama-sama merupakan pemerintah.
Tugas pemerintah ialah menyelenggarakan
kesejahteraan Indonesia dan
mengurus
supaya konstitusi UU Federal dan peraturan-peraturan
lain yang berlaku untuk RIS dijalankan pasal
117 ayat (2) K-RIS).
Presiden RIS ialah Kepala Negara dan
dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan
oleh pemerintah daerah-daerah bagian. Pemilihan Presiden RIS yang pertama telah
dilangsungkan di Yogyakarta pada tanggal 16 Desember 1949: Presiden
RI Ir. Soekarno terpilih ketika itu menjadi Presiden RIS dan
mengangkat sumpahnya menurut K-RIS pada tanggal 17 Desember 1949.
Kelowongan jabatan Presiden RI (negara bagian) yang timbul ketika itu
diisi untuk sementara waktu oleh Ketua KNP (Mr. Asaat) selaku pemangku
sementara jabatan Presiden RI berdasarkan UU No. 7 Tahun 1949 (RI
negara bagian).
Syarat-syarat untuk dipilih menjadi
Presiden ialah;
a. telah
berusia 30 tahun
- tidak boleh orang
yang tidak diperkenankan serta dalam ataumenjalankan hak pilih ataupun
orang yang telah dicabut haknya untukdipilih.
Sistem kabinet menurut K-RIS lah kabinet
yang bertanggung jawab (cabinet government).
Salah satu dari yang utama dari sistem ini ialah bahwa sekaligus
Presiden merupakan pula unsur dari pemerintah namun ia tidak dapat diganggu
gugat (Pasal 118 K-RIS)
Kabinet RIS atau masing-masing menteri
tidak dapat dipaksa meletakkan
jabatannya oleh DPR pertama (sementara) RIS
yang dibentuk berdasarkan Pasal 109 dan 110 K-RIS
(Pasal 122 K-RIS). Menurut ketentuan
pasal-pasal ini maka penunjukan anggota-anggota untuk DPR pertama dari
daerah-daerah bagian di luar daerah-daerah RI, diatur dan diselenggarakan dengan
perundingan bersama-sama oleh daerah-daerah bagian yang
bersangkutan dengan memperhatikan asas-asas demokrasi, dan seboleh-bolehnya
dengan perundingan dengan daerah yang bukan daerah-daerah bagian.
Untuk penentuan jumlah anggota yang akan diutus di antara daerah-daerah
itu, diambil sebagai dasar perbandingan jumlah jiwa rakyat dari daerah
bagian tersebut (Pasal 109 K-RIS)
Untuk merundingkan bersama sama kepentingan-kepentingan umum, menteri-menteri bersidang dalam Dewan
Menteri yang diketuai oleh Perdana
Menteri atau hal Perdana Menteri berhalangan
salah seorang
menteri yang berkedudukan khusus.
K-RIS mengenal adanya;
a. Menteri-menteri
yang berkedudukan menteri-menteri yang
tidak berkedudukan khusus;
b. Menteri-menteri yang
berkedudukan khusus;
ialah menteri-menteri yang memimpin departemen: pertahanan, urusan dalam
negeri, keuangan, urusan dalam
hal-hal mendesak para menteri yang berkedudukan khusus ekonomi, dan perdana
menteri.
Dalam hal-hal yang mendesak,
para mentri yang berkedudukan khususmdapat mengambil
keputusan-keputusan yang mengikat,
sama kekuatannya seperti
keputusan yang diambil dalam sidang lengkap Dewan Menteri (pasal 75 ayat (3) K-RIS). Syarat-syarat untuk menjadi menteri
sama dengan
syarat-syarat bagi Presiden, kecuali syarat umur bagi menteri ditetapkan 25 tahun
(Pasal 73 K-RIS). Jika perlu karena Presiden berhalangan, maka
Presiden dapat memerintahkan perdana menteri menjalankan pekerjaan
jabatannya sehari-hari (Pasal 72 ayat (1) K-RIS).
RIS mengenal sistem perwakilan bikameral
(dua kamar) terdiri dari:
- Senat, dan
- Dewan Perwakilan
Rakyat
Senat adalah perwakilan daerah-daerah.
Setiap daerah bagian mempunyai
dua anggota dalam senat, yang berhak mengeluarkan masing-masing satu suara dalam
senat (Pasal 80 K-RIS).
Penunjukan anggota-anggota senat
dilakukan oleh pemerintah daerah-daerah
bagian dari daftar yang diajukan oleh masing-masing perwakilan rakyat dan
yang memuat tiga calon untuk tiap-tiap kursi Prosedur penunjukan
para anggota senat tersebut ditetapkan sendiri oleh daerah-daerah bagian.
Syarat-syarat
untuk menjadi anggota senat adalah sama dengan syarat-syarat untuk
Presiden (Pasal 82 K-RIS).Para anggota senat setiap waktu boleh meletakkan
jabatannya dengan jalan memberitahukan hal itu dengan surat kepada
ketua (Pasal 84 K-RIS),.
Senat turut berwenang bersama-sama
pemerintah dan DPR dalam hal:
- mengubah
Konstitusi RIS (Pasal 190-191 K-RIS)
- penetapan UUFederal
yang menyangkut satu, beberapa, atau semuadaerah-daerah atau bagian-bagiannya
(Pasal 127 huruf a dan 128 ayat (2) K-RIS);
- penetapan UU
Federal untuk menetapkan Anggaran Belanja RIS (Pasal 168 K-RIS).
Di samping itu, senat berhak dan
berwenang untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan/nasihat-nasihat
kepada pemerintah mengenai segala
hal, baik diminta atau tidak diminta (Pasal 123 K-RIS).
DPR adalah perwakilan seluruh rakyat
Indonesia dan terdiri dari 150
anggota yang terbagi atas 50 anggota dari negara bagian RI dan100 anggota dari
daerah-daerah selebihnya, yang ditentukan mengenai susunan DPR ini tidak
mengurangi hak golongan-golongan kecil Cina, Eropa, dan Arab untuk
mempunyai perwakilan dalam DPR sekurang-kurangnya 9 (Cina), 6 (Eropa), dan
3 anggota (Pasal 98, 99, dan 100
K-RIS). Kewenangan utama DPR ialah dalam bidang pembuatan undang-undang.
Pasal 111 ayat (1) K-RIS menentukan
bahwa dalam tempo satu tahun
sesudah konstitusi mulai berlaku maka di seluruh Indonesia pemerintah
memerintahkan mengadakan pemilihan yang bebas dan rahasia untuk menyusun
DPR yang dipilih secara umum.
Keanggotaan senat tidak dapat dirangkap
dengan:
- Keanggotaan Dewan
Perwakilan Rakyat;
- Presiden RIS;
- Menteri (Federal);
- Jaksa Agung RIS;
- Keuangan, Ketua, Wakil
Ketua, anggota Dewan Pengawas Keuangan RIS;
- Ketua, Wakil Ketua
atau anggota Mahkamah Agung Indonesia;
- Presiden Bank
Sirkulasi;
- Wali Negara
(daerah bagian);
- Menteri (daerah
bagian atau Kepala Departemen daerah bagian (Pasal
91 K-RIS)
Larangan merangkap
jabatan bagi para anggota DPR adalah sama gan yang ditentukan
terhadap para
anggota senat dengan tambahan 102
para anggota DPR tidak dapat anggota senat (Pasal 102 K-RIS).
Dalam Pasal 180 ditentukan, bahwa
Konstituante (Sidang Pembuat
Konstitusi) bersama-sama dengan
pemerintah selekas-lekasnya menetapkan
Konstitusi RIS yang akan menggantikan konstitusi sementara ini.
Konstituante dibentuk dengan
jalan memperbesar DPR yang dipilih menurut Pasal 111 K-RIS dan senat baru
yang ditunjuk menurut Pasal 97
K-RIS dengan anggota-anggota
luar biasa sebanyak jumlah anggota majelis itu masing-masing.
Jadi, Konstituante akan terdiri dari:
- anggota biasa,
ialah para anggota DPR dan senat, serta
- anggota luar biasa
Anggota luar biasa itu dipilih ataupun
ditunjuk atau diangkat oleh rapat
gabungan DPR dan senat, keduanya dengan jumlah anggota dua kali lipat, itulah
Konstituante. Segala ketentuan yang berlaku bagi para anggota biasa, berlaku
pula terhadap para anggota luar biasa (Pasal 188 K-RIS)
Pembagian kekuasaan antara RIS dengan
daerah-daerah bagian dilakukan
dengan jalan menyebut satu demi satu (disebut secara limitative pokok-pokok
penyelenggaraan pemerintahan yang dibebankan kepada RIS (Pasal 51 tercantum
dalam Lampiran K-RIS. Pokok-pokok selebihnya diselenggarakan sendiri oleh
daerah-daerah bagian
2. Masa Undang-Undang Sementara 1950
Seperti telah dikemukakan, bangsa
Indonesia semenjak proklamasi kemerdekaan
menghendaki suatu negara kesatuan yang melindungi dan meliputi segenap bangsa
seluruhnya. Pembentukan RIS tetaplah dipandang sebagai hasil politik Belanda
semata-mata untuk memecah belah
persatuan bangsa. Itulah sebabnya segera sesudah pengakuan kedaulatan, di
mana-mana di daerah-daerah bagian timbul pergolakan-pergolakan dan yang
spontan rakyat untuk kembali
ke negara kesatuan dengan jalan menggabungkan diri kepada RI (negara bagian).
Hal penggabungan kepada suatu daerah
bagian lain sesungguhnya dapat
dilakukan melalui ketentuan-ketentuan Pasal 43 dan Pasal 44 K-RIS. Hanya penggabungan
itu memerlukan pengaturannya dengan UU Federal. Terdesak oleh
pergolakan-pergolakan yang semakin menghebat di daerah-daerah untuk
menggabungkan diri kepada RI (negara bagian) maka pemerintah RIS
akhirnya menetapkan UUDarurat No. 11 tanggal 8 Maret 1950, LN
1950/16 tentang cara perubahan susunan kenegaraan wilayah RIS. Selain
ditentukan melalui plebisit atau pemilihan umum, UUDarurat ini
memungkinkan pula perubahan itu melalui prosedur yang sumir (dipersingkat).
Sebagai akibat penggabungan ini, maka di
luar RI masih ketinggalan hanya
dua negara bagian, yaitu NIT dan NST. Tetapi akhirnya kedua negara bagian ini pun
memberikan mandatt penuh
kepada pemerintah federal
untuk mengadakan perundingan dengan pemerintah RI (Negara bagian) juga atas nama
mereka. Pada tanggal 19 Mei 1950, ditandatanganilah
Piagam Persetujuan Pemerintah RIS dan pemerintah RI yang menetapkan
antara lain bahwa UUD Negara Kesatuan RI didapat
dengan mengubah K-RIS sedemikian rupa, sehingga secara esensial UUD 1945
(Pasal 27, 29, dan 33) ditambah dengan bagian-bagian yang baik dari K-RIS termasuk
di dalamnya.
Pada tanggal 20 Juli 1950, pemerintah
RIS dan pemerintah RI menyetujui
Rancangan UUDS RI yang disusun untuk selanjutnya diteruskan kepada DPR
oleh pemerintah dan kepada Badan Pekerja KNP oleh pemerintah RI
untuk memperoleh pengesahan.
Pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden
Soekarno menyatakan dalam rapat
gabungan DPR dan senat mengenai penandatanganan naskah UU Federal yang memuat
naskah UUDS RI dan terbentuknya Negara kesatuan sebagai perubahan dalam negeri.
Pada hari itu juga, Presiden Soekarno
menuju Yogyakarta sebagai Presiden
RI (negara bagian) untuk menyatakan terbentuknya negara kesatuan itu di hadapan
Sidang Istimewa BP KNP kota itu.
UU Federal yang memuat naskah UUDS RI
ialah UU No. 7/1950 LN
1950/56) dan mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1950 (Pasal 11 ayat (1)).
Dengan
demikian, 1950 tanggal 17 Agustus 1950 bangsa
Indonesia kembali ke negara kesatuan, sebagai penjelmaan dari Negara Republik
Indonesiaberdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.
UUDS
RI adalah formal
sebuah perubahan K-RIS. Perubahan itu adalah
demikian, sehingga struktur RI
yang menurut K-RIS bersifat federal, berubah menjadi negara kesatuan.
Prosedur yang ditempuh ialah prosedur
perubahan konstitusi seperti yang
ditetapkan dalam Pasal 190 dan191 K-RIS.
Adapun UUDS RI ini bermula semenjak diadakn perundinganp-perundingan antara pemerintah RIS (juga
atas nama
NIT dan NST dengan
pemerintah RI yang
bertujuan untuk kembali
Ke negara kesatuan sebagai penjelmaandari RI berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sebagai hasil dari perundingan-perundingan yang diadakan itu, maka pada
tanggal 19 Mei 1950 ditandatanganilah piagam persetujuan antara
pemerintah RIS dan pemerintah RI (ditandatangani oleh masing-masing
perdana menteri).
Sebagai kelanjutan dari piagam
persetujuan dan pengumuman itu maka
dibentuklah sebuah Panitia Bersama yang ditugaskan terutama merancangkan UUDS
Negara Kesatuan (Panitia ini diketuai oleh Prof Dr. Soepomo (pihak RIS)
dan oleh Mr. Abdul Hakim (pihak RI).
Hasil pekerjaan panitia bersama ini
disampaikan kepada pemerintah RIS
dan kepada pemerintah RI pada
tanggal 30 Juni 1950. Dengan sedikit perubahan hasil karya panitia itu oleh
kedua pemerintah dijadikan Rancangan
UUDS RI dan diajukan kepada DPR, senat, dan Badan Pekerja KNP yang tanpa
menggunakan hak amandemennya telah menerima rancangan tersebut yang
akhirnya menjadi UUDS RI. Oleh karena
menurut ketentuan Pasal 190 K-RIS perubahan K-RIS hanyalah dapat diadakan dengan
UU Federal, maka perubahan konstitusi ini telah ditetapkan dengan UU
Federal No. 7 Tahun 1950, LN 56 Tahun 1950 Pasal 1 undang-undang
ini memuat naskah perubahan K-RIS yang kemudian terkenal dengan nama
"Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS RI).
Bentuk Negara RI ialah negara kesatuan
dan bentuk pemerintahannya
ialah republik (Pasal 1 ayat (1) UUDS RI. Tug ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (1) UUDS yang
menentukan bahwa RI yang merdeka dan berdaulat ialah suatu
negara hukum yang demokratis dan
berbentuk kesatuan. Dengan adanya ketentuan, bahwa adalah suatu negara hukum
berartilah negara akan tunduk kepada hukum;
kelengkapan hukum berlaku pula bagi segala badan dan
alat-alat Negara.
Kedaulatan RI adalah di tanganrakyat dan
dilakukan oleh pemerintah bersama-sama
dengan
DPR
(Pasal ayat (1) UUDS RI). Dari ketentuan ini dapatlah
disimpulkan, bahwa UUDS RI menganut paham kedaulatan rakyat.
Pasal 2 UUDS RI menentukan bahwa RI
meliputi seluruh daerah Indonesia.
Yang dimaksud dengan "daerah Indonesia" itu ialah daerah Hindia-Belanda"
dahulu, yang meliputi pula Irian Barat. Irian Barat (sekarang: Papua juga
telah masuk wilayah kedaulatan RI meskipun de facto
belum di bawah kekuasaan RI namun ia adalah de
jure bagian dari
wilayah RI.
Alat-alat kelengkapan negara ialah
- Presiden dan Wakil
Presiden;
- Menteri-menteri;
- Dewan Perwakilan
Rakyat;
- Mahkamah Agung;
- Dewan Pengawas
Keuangan.
Apabila dibandingkan dengan K-RIS dan
UUD 1945 maka UUDS RI
ini tidak mengenal adanya senat (K-RIS) dan Dewan Pertimbangan Agung (UUD 1945). Lain
daripada itu, UUDS RItidak mengenal adanya MPR (UUD 1945)
sedangkan berbeda daripada K-RIS, UUDs RI mengenal adanya jabatan
Wakil Presiden.
Berbeda dengan K-RIS dalam UUDS RItidak
ada pasal yang dengan tegas
menentukan siapakah yang dimaksud dengan "Pemerintah" itu.
Tetapi karena dalam Bab II Bagian I
mengenai Pemerintah demikian, demikian pula
dalam Bab III Bagian I mengenai baik Presiden, Wakil Presiden, maupun menteri-menteri
maka dapatlah ditafsirkan, bahwa yang dimaksud dengan "Pemerintah"
ialah Presiden (Wakil Presiden bersama-sama dengan menteri-menteri.
Tugas pemerintahan ialah menyelenggarakan
kesejahteraan Indonesia dan
teristimewa berusaha
supaya UUD, undang-undang, dan peraturan lain dijalankan (Pasal
82 UUS RI).
Presiden ialah Kepala Negara dan dalam
melaksanakan kewajibannya
dibantu oleh seorang Wakil
Presiden.Presiden dan Wakil Presiden harus
warga negara Indonesia yang
telah berusia 30 tahun dan tidak
boleh orang yang tidak serta dalam atau menjalankan hak pilih ataupun orang
yang telah dicabut haknya untuk dipilih (Pasal 45 ayat (5) UUDS RI).
Oleh karena pelaksanaan Negara Kesatuan yang
dahulu bersifat federal dan kini menjadi
Kesatuan,
maka sendirinya Presiden RIS Ir.
Soekarno beralih
menjadi Presiden Negara Kesatuan RI.
Menurut ketentuan Pasal 45 ayat (4) UUDS maka untuk pertama kali Wakil Presiden
diangkat oleh Presiden atas anjuran yang dimajukan oleh DPR. Atas dasar
ketentuan ini, maka anjuran DPR dengan Keputusan Presiden RI tanggal 16 Oktober
1950 No. 27 telah diangkat Drs.
Mohammad Hatta menjadi Wakil Presiden.
Tugas Wakil Presiden:
a. membantu
Presiden (Pasal 45 ayat (2) UUDS RI);
b. mengganti
Presiden sampai habis waktunya, jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya (Pasal 48
UUDS RI)
Jelaslah, bahwa menurut UUDS RI jika
Presiden berhalangan, maka hanya
Wakil Presidenlah yang dapat mewakilinya. Tetapi ketika Drs Mohammad Hatta
mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden, sedangkan UU sebagai yang
diharuskan oleh Pasal 45 ayat (3) UUDS RI, yakni UU yang mengatur
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden belum ditetapkan untuk
menghindari kelowongan jabatan Presiden, apabila Presiden berhalangan
melakukan tugas kewajibannya, telah ditetapkan UU No. 29 Tahun 1957
(LN 101-1957), tentang pejabat yang menjalankan pekerjaan Presiden.
Jika Presiden mangkat, berhenti atau berhalangan sedangkan Wakil
Presiden tidak ada atau berhalangan. Menurut UU ini dalam hal Wakil
Presiden tidak ada atau berhalangan, jika Presiden berhalangan, Ketua DPR
pekerjaan jabatan Presiden sehari hari.
Demikian juga jika dalam keadaan yang sama, Presiden mangkat berhenti atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, Ketua DPR
menjalankan pekerjaan jabatan Presiden hingga ada Presiden
Sama halnya dengan K-RIS, maka sistem
kabinet ialah Kabinet Parlementer
yang bertanggung jawab kepada Presiden.
Perbedaannya dengan beberapa ketentuan
dalam K-RIS ialah
(1)
DPR RI
(pertama) dapat memaksa kabinet atau masing-masing menteri meletakkan
jabatannya. Sebagai imbangannya, maka Presiden berhak membubarkan DPR (Pasal
84 UUDS RI)
(2)
Kabinet
UUDS RI tidak mengenal adanya menteri-menteri yang berkedudukan khusus. Untuk
merundingkan bersama-sama kepentingan
umum, menteri-menteri bersidang dalamDewan Menteri yang diketuai oleh
perdana menteri atau dalam hal perdana menteri berhalangan, oleh salah
seorang menteri yang ditunjuk oleh Dewan Menteri (Pasal 52 ayat
(1) UUDS RI)
Syarat-syarat untuk dapat diangkat
menjadi menteri adalah sama dengan
syarat-syarat bagi jabatan Presiden dan Wakil Presiden, hanya batas umur ditetapkan
25 tahun (Pasal 49 UUDS RI). Larangan merangkap jabatan umur ditetapkan 25
tahun (Pasal 49 UUDS RI). Larangan
merangkap jabatan bagi Presiden, Wakil Presiden, dan Menteri ditetapkan dalam Pasal
55 UUDS RI yang pada pokoknya adalah sama dengan ketentuan Pasal
79 K-RIS. Negara Kesatuan RI mengenal system perwakilan monokameral
(satu kamar, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR mewakili
seluruh rakyat Indonesia, terdiri dari sejumlah anggota yang besarnya
ditetapkan berdasarkan atas perhitungan setiap 300.000 jiwa penduduk
warga negara Indonesia mempunyai seorang wakil
(Pasal 56 UUDS RI). Dalam pada itu, golongan-golongan kecil Cina, Eropa, dan Arab
akan mempunyai wakil dalam DPR dengan berturut-turut sekurang-kurangnya 9, 6,
dan 3anggota (Pasal 58 ayat (1) UUDS RI. Apabila
jumlah tersebut tidak dicapai dengan pemilihan umum, maka pemerintah
RI mengangkat wakil-wakil tambahan bagi golongan-golongan kecil
hingga mencukupi jumlah wakil minimal (Pasal 58 ayat (2) UUDS RI.
Adapun pemerintah dalam mengangkat wakil-wakil tambahan ini sedapat-dapatnya
dengan memperhatikan keinginan masing-masing.
umum
oleh warga Negara.
Anggota DPR dipilih dalam satu pemilihan
umum oleh warga negara Indonesia
yang memenuhi syarat syarat dan menurut anuraamaarannang ditetapkan dengan UU
(Pasal 57 UUDS RI yang dimaksudkan disini ialah UU Pemilihaa Umum yang penama
UUNo. Taitaan 1953, LN
No, 29 Tahun 1933).
Mengenai pemilihan umum yang pernama
yang diselenggarakan diIndonesia untuk pemilihan para anganna DPR dan
Konstituante diadakan
pada tanggal 21 September 1955 santak memilie angewa
DPR dan
pada tanggal l Desember
1955 sartak memilih anggota Konstituante.
Masa jabatan para anggota DPR ialah 4
tahun Pasal 50 UUDS RI), syarat-syarat untuk
boleh menjadi angaona DPR adalah sama dengan syarat-syarat yang
ditetapkan bagi para menteri.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 77 UUDs RI
maka DPR RI yang pertama
terdiri dari
- Ketua,
Wakil Wakil Ketua, dan anggota-anggota DPR:
- Ketua,
Wakil Ketua, dan anggota anggota Senat.
- Ketua,
Wakil Wakil Ketua, dan anggoca anggoa Badan Pekerja
- KNP
dan Ketua, Wakil Ketua, dan angzota DPA
DPR pertama (sementara) ini meletakkan
jabatannya dalam tahun 1956
ketika DPR (hasil pemilihan umum yang pertama dilantik).. Mengenai larangan
merangkap jabatan bagi anggoca anggoea DPR terdapat ketentuan
dalam Pasal 61 UUDS RI.
Hak-hak DPR ialah;
(1) Hak
memajukan usul UU (hak inisiatif Pasal so ayat (2) UUDS RI)
(2) Hak budged (Bab III Bagian IV UUDS RI)
(3)
Hak amandemen atas usul
UU dari pemerintah (Pasal 91 UUDS
RI)
(4)
Hak
interpelasi dan hak menaya (Pasal 69
ayat (1) UUDS RI) dan
(5)
Hak enquete (hak
menyelidik (Pasal 70 UUDS RI).
Disamping hak-hak DPR ini ada lagi hak
menanyadari para anggota DPR
(Pasal ayat (1) UUDS RI)
Konstituante menurut Pasal 134 UUDS RI
bertugas beruama-sama dengan
pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD RI yang akan menggantikan UUD
Sementara.
Lain daripada DPR Konstituante akan
terdiri dari sejumlah anggota anggota
yang besarnya ditetapkan atas perhitungan setiap 150.000 jiwa penduduk warga negara
Indonesia mempunyai seorang wakil (Pasal 135 ayat (1)). Juga dalam
Konstituante, RI memberikan jaminan bagi perwakilan
golongan-golongan kepada Cina, Eropa, dan Arab, masing-masing dengan jumlah dua
kali lipat dari jumlah perwakilan dalam DPR Jadi, berturut-turut
18, 12, dan 6 anggota (Pasal 135 ayat (3)). Juga sama halnya dengan yang
ditentukan bagi DPR, bila jumlah minimal ini tidak dicapai dengan
pemilihan umum, Pemerintah RIakan mengangkat wakil-wakil tambahan
bagi golongan-golongan kecil yang bersangkutan hingga mencukupi jumlah
minimal yang
dijamah oleh UUDS RI. Dengan demikian, cara
penunjukan para anggota Konstituante (uga DPR) dilaksanakan melalui
dua jalan yaitu;
(1) melalui
pemilihan umum dengan cara bebas dan rahasia (Pasal 135 ayat (2) UUDS RI).
(2) melalui pengangkatan oleh pemerintah
(pasal 135 ayat (3) UUDS RI).
Adapun UU yang mengatur pemilihan umum
seperti yang dimaksud di
sini ialah UU Pemilihan Umum No 7
Tahun 1953, LN No. 29 Tahun 1953.
UU ini mengatur sekaligus pemilihan umum bagi para anggota DPR dan Konstituante.
Pada umumnya, ketentuan-ketentuan di
dalam berlaku bagi para anggota DPR, berlaku pula bagi para anggota Konstituante, misalnya
ketentuan-ketentuan mengenai hak pilih aktif maupun hak pilih pasif.
Demikian pulalah dengan ketentuan-ketentuan mengenai larangan
perangkapan jabatan (inkompabilitas).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 137 UUDS
RI, maka Konstituante tidak
dapat bermufakat atau mengambil keputusan tentang Rancangan UUD baru atau
bagian-bagiannya, jika pada rapatnya tidak hadir sekurang-kurangnya dua
pertiga dari jumlah anggota Konstituante, sedangkan
UUD baru berlaku jika rancangannya telah diterima dengan sekurang-kurangnya dua
per tiga dari jumlah suara anggota yang hadir dan kemudian disahkan
oleh pemerintah.
Apabila pada waktu Konstituante
terbentuk belum diadakan pemilihan
anggota-anggota DPR
maka
Konstituante merangkap menjadi (Pasal
138 ayat (1) UUDS RI).
Untuk melaksanakan tugas tersebut
Konstituante dapat membentuk sebuah
Badan Pekerja (Pasal 138 ayat (2) UUDS RI). Badan Pekerj termaksud dipilih oleh
Konstituante di antara anggota-anggotanya dan terdiri dari Ketua
Konstituante sebagai ketua merangkap anggota dan sejumlah anggota yang
besarnya ditetapkan berdasarkan atas perhitungan setiap 10 anggota
Konstituante mempunyai seorang wakil. Badan Pekerja bertanggung jawab
kepada Konstituante (Pasal 138 ayat (2) jo. Pasal 139 UUDS RI).
Tetapi
nyatanya ketika Konstituante dilantik di Bandung pada tanggal 10 November 1956, DPR
yang dibentuk berdasarkan pemilihan umum seperti yang
dikehendaki oleh Pasal 57 UUDS RI telah ada dan bekerja ehingga ketentuan
mengenai perangkapan Konstituante sebagai DPR tidak perlu
dilaksanakan lagi.
Sebagai hasil pemilihan umum yang khusus
diselenggarakan untuk pemilihan Konstituante
pada akhir tahun 1955, maka pada tanggal 10 November pada hari
Pahlawan, di Bandung dilangsungkan pelantikan
Konstituante RI oleh Presiden RI Ir. Soekarno. Dengan peristiwa itu, maka
dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, untuk pertama kali,
bersidanglah sebuah majelis yang dibentuk atas dasar suatu pemilihan umum untuk
memulai pekerjaannya menetapkan UUD bagi negara dan bangsa
Indonesia.
Pemilihan umum untuk Konstituante telah
menghasilkan terpilihnya di
seluruh Indonesia 514 anggota Konstituante. Di samping itu, telah diangkat pula oleh
pemerintah 30 anggota tambahan, yakni 12 anggota tambahan dari golongan
warga negara keturunan Cina, 12 anggota tambahan dari golongan
warga negara keturunan Eropa, dan 6 anggota untuk mewakili daerah
pemilihan Irian Barat, karena di daerah tersebut belum dapat
diselenggarakan pemilihan (mengenai Irian Barat ini lihat Pasal 134 UU Pemilihan
Umum yang telah disinggung di muka). Dari golongan warga negara
Arab tidak ada yang diangkat lagi, karena golongan ini telah
mencapai jumlah perwakilan minimal sebagaimana yang telah ditentukan
dalam UUDS RI (Pasal 135 ayat (3)).
Pada permulaan
tahun 1959 Presiden dan pemerintah (Kabinet Karya)
yang menganjurkan kepada Konstituante supaya UUD 1945 ditetapkan menjadi yang menggantikan UUDS
RI, sesuai dengan wewenang
Konstituante menurut Pasal 134 UUDS RI.
Alasan yang antara lain dikemukakan oleh
Presiden dan pemerintah (Kabinet
Karya) untuk mengemukakan anjuran di atas ialah karena susunan pendirian yang
terdapat dalam Konstituante Bandung adalah sedemikian rupa,
sehingga tidaklah akan dapat memberikan harapan, bahwa Konstituante akan
dapat memenuhi tugasnya seperti yang ditetapkan dalam UUDS RI.
Pemerintah pada tanggal 12 Maret 1959
memberikan keterangan mengenai
putusan Dewan Menteri ini di hadapan sidang DPR, sedangkan pada tanggal 22 April
1959 Presiden menyampaikan amanatnya di hadapan sidang pleno
Konstituante, yang memuat anjuran kepala Negara dan pemerintah untuk
kembali kepada UUD 1945.
Sesudah memusyawarahkan anjuran sejak
tanggal 29 April 1959, akhirnya
pada tanggal 30 Mei, 1 dan 2 Juni 1959 diselenggarakan pemungutan suara di
Konstituante (Bandung) untuk menetapkan diterima atau tidaknya anjuran
itu. Hasil pemungutan suara yang diselenggarakan itu menunjukkan, bahwa
anjuran kepala negara dan pemerintah itu tidak memperoleh dukungan
suara yang diperlukan, yaitu sekurang-kurangnya oleh dua pertiga dari
jumlah anggota yang hadir dalam rapat pleno Konstituante.
Pemungutan suara mengenai anjuran ini telah diselenggarakan tiga
kali berturut-turut dengan hasil sebagai berikut;
(1) Pemungutan
suara I, tanggal 30 Mei 1959. Hadir 478 anggota;, setuju 269, tidak setuju 199.
Pemungutan suara ini dilakukan secara terbuka.
(2) Pemungutan
suara II, tanggal 1 Juni 1959. Hadir 469 anggota; setuju 264, tidak setuju 204.
Pemungutan suara ini dilakukan secara tertutup.
(3) Pemungutan
suara III, tanggal 2 Juni 1959. Hadir 469 anggota; setuju 263, tidak setuju 203.
Pemungutan suara ini dilakukan secara terbuka.
Adapun hasil pemungutan suara ini
memberikan suatu pertanda bahwa
Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat
kepadanya. Hal ini antara lain dipertegas pula dengan adanya
pernyataan-pernyataan dari sebagian besar anggotaKonstituante untuk tidak lagi
menghadiri sidang pleno Konstituante. Maka atas dasar-dasar itu,
pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden RI/Panglima Tertinggi Angkatan
Perang telah menetapkan ‘'DEKRIT
PRESIDEN RIAPANGLIMA
TERTINGGI ANGKATAN PERANG TENTANG KEMBALI
KEPADA UUD 1945".
3. Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 Kembali kepada selaku UUD 1945
Pada hari Minggu, 1959, pukul 17.00
sore) Ir. Soekamo Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang mengeluarkan dekrit,
yang menyatakan, bahwa terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit itu
UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan tidak berlakunya lagi UUDS.
Hal ini dilakukan atas nama rakyat Indonesia.
Dalam konsiderans dari dekrit itu,
dikemukakan beberapa dasar pertimbangan
bagi penetapan dekrit tersebut, yaitu;
a.
Anjuran
Presiden/pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945, yang disampaikan kepada segenap
rakyat Indonesia dengan amanah Presiden
pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan
b.
dari Konstituante
sebagaimana ditentukan dalam UUDS 1950.
c. Sebagian besar anggota
Konstituante (Sidang Pembuat UUD) itu telah menyatakan
pendiriannya untuk tidak menghadiri lagi siding Konstituante. Oleh
karena itu, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas
yang dipercayakan rakyat kepadanya
d. Keadaan
yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan
dan keselamatan negara, nusa, dan bangsa
serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat adil dan
makmur.
e. Dengan
dukungan sebagian besar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan sendiri,
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang terpaksa
menempuh satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan Negara Proklamasi;
f. Presiden
berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945
dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstituante tersebut. Demikianlah
dasar dekrit tanggal 5 Juli
1959 tersebut.
Dengan dekrit itu ditetapkan;
a. Pembubaran
Konstituante
b. UUD
1945 berlaku kembali
c. UUD
1950 tidak berlaku lagi;
d. MPRS,
pembentukannya akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya;
e. Pertimbangan
Agung Sementara (DPAS)
juga segera akan dibentuk
lsi lengkap dekrit presiden tersebut
adalah sebagai berikut.
DEKRIT
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLI TERTINGGI ANGKATAN PERANG TENTANG
KEMBALI KEPADA
UNDANG UNDANG DASAR 1945
Dengan
Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Kami
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang, Dengan ini menyatakan
dengan khidmat:
(1)
bahwa anjuran Presiden
dan pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945, yang disampaikan
kepada segenap rakyat Indonesia dengan amanat Presiden pada tanggal 22 April
1959, tidak memperoleh keputusan
dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam UUDS;
(2)
bahwa berhubung dengan
pernyataan sebagian besar anggota Sidang Pembuatan UUD, untuk
tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi
menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya; bahwa
hal yang demikian menimbulkan keadaanketatanegaraan yang membahayakan persatuan
dan keselamatan negara,
nusa dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai
masyarakat yang adil dan makmur;
(3)
bahwa dengan dukungan
bagian terbesar dari rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan
terpaksa menempuh satu satunya
jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi.
(4) bahwa
kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945
dan adalah merupakan satu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.
KAMI
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIAIPANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
menetapkan
pembubaran Konstituante;
menetapkan
UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia
dan
seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal
penetapan
dekritinidan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara;
pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
ditamb terdiri
atas Dewan Perwakilan dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan serta
pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam
waktu sesingkat-singkatnya.
Dilaksanakan di Jakarta
Pada Tanggal 5 Juli 1959
Atas nama Rakyat Indonesia/
Panglima Tertinggi Angkatan Perang
(SOEKARNO)
a. Sistem
pemerintahan pasca kemerdekaan
Informasi Pada Sistem Pemerintahan Indonesia Tahun 1945-1949
Informasi pada sistem pemerintahan indonesia tahun
1945-1949 adalah berisi seputar
badan badan negara. Pada periode ini, yang menjadi konstitusi negara adalah
Undang-Undang Dasar 1945. Memang awal mula kemerdekaan adalah menggunakan
UUD 1945. Dan pada lama pada periode ini dari 18 agustus 1945 sampai dengan 27
desember 1949.
Yang pada saat kemerdekaan itu, dipilihlah presiden
dan wakil presiden dari persetujuan kawan kawan pembela kemerdekaan yaitu yang
sebagai presiden adalah Ir. Soekarno dan wakilnya adalah Drs. Mohammad Hatta.
Presiden dan juga wakilnya menjabat dari awal periode sampai 19 desember 1948.
Dan yang menjadi ketua PDRI adalah Syafrudin
Prawiranegara 19 desember 1948- 13 juli 1949. Pada periode ini, bentuk negara
indonesia adalah negara kesatuan bentuk. Karena pada saat itu, bertujuan untuk
mempersatukan wilayah negara yang dijajah oleh belanda dengan cara
menyatukannya. Selain bentuk negara, pemerintahannya juga berbasis republik.
Itu merupakan informasi singkat mengenai sistem
pemerintahan indonesia tahung 1945-1949. Jika anda mempunyai pertanyaan seputar
sistem pemerintahan ini, silahkan anda bisa menyuarakan pendapat anda pada
kolom komentar di bawah.
Informasi khusus mengenai sistem pemerintahan indonesia tahun 1945-1949
Informasi khusus ini
diawali dengan pernyataan Van Mook yang tidak untuk berunding dengan Soekarno
ini faktor utama dalam memicu perubahan sistem pemerintahan indonesia yang awal
mulanya dari presidensial menjadi parlementer. Gelagat inipun sudah diketahui
oleh pihak negara republik Indonesia. Pada saat sekutu datang, di sehari
sebelumnya tepatnya tanggal 14 November 1945. Soekarno yang sebelumnya sebagai
kepala pemerintahan republik indonesia ini diganti oleh Sutan Syahrir yang
memang seorang sosialis yang banyak orang menganggap sebagai figur yang tepat
untuk menjadi ujung tombak diplomatik. Bertepatan dengan itu pula, Di belanda sedang terjadi
naik daunnya partai sosialis, sehingga ini merupakan strategi yang tepat untuk
melakukan gencatan senjata dengan mengirimkan seseorang yang benar benar
sosialis atau pintar dalam bergaul. Setelah Munculnya maklumat wakil presiden
no. 10 tanggal 16 November 1945.
Setelah keluarnya
maklumat wakil presiden itu, terjadi sebuah pembagian kekuasaan dalam dua badan
negara, yaitu kekuasan legislatif yang dijalankan oleh KNIP atau Komite
Nasional Indonesia Pusat dan kekuasaan yang lain masih tetap dipegang oleh
Presiden sampai dengan tanggal 14 November 1945. Semua kekuasaan Eksekutif yang
semula memang dijalankan oleh presiden akan beralihh ke tangan menteri karena
konsekuensi dari bentuk sistem pemerintahan parlementer karena keluarnya maklumat pemerintah 14 November
1945.
INDONESIA MASA DEMOKRASI LIBERAL (1950-1959)
garudaPelaksanaan
demokrasi liberal sesuai dengan konstitusi yang berlaku saat itu, yakni Undang
Undang Dasar Sementara 1950. Kondisi ini bahkan sudah dirintis sejak
dikeluarkannya maklumat pemerintah tanggal 16 Oktober 1945 dan maklumat tanggal
3 November 1945, tetapi kemudian terbukti bahwa demokrasi liberal atau
parlementer yang meniru sistem Eropa Barat kurang sesuai diterapkan di
Indonesia. Tahun 1950 sampai 1959 merupakan masa berkiprahnya parta-partai
politik. Dua partai terkuat pada masa itu (PNI & Masyumi) silih berganti
memimpin kabinet. Sering bergantinya kabinet sering menimbulkan ketidakstabilan
dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Ciri-ciri demokrasi
liberal adalah sebagai berikut :
- Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat
- Menteri bertanggung jawab atas kebijakan
pemerintah
- Presiden bisa dan berhak berhak membubarkan DPR
- Perdana Menteri diangkat oleh Presiden
A. KABINET MASA DEMOKRASI LIBERAL
1) Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret
1951); Merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi.
Dipimpin Oleh : Muhammad Natsir
Program
:
a) Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman
b) Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan
pemerintahan
c) Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
d) Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
e) Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Hasil :
Berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda
untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
a) Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan
Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan).
b) Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu
terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan
DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut
pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap
peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan
Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan
mandatnya kepada Presiden.
B. KABINET SUKIMAN (27 April 1951 – 3 April 1952)
Merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI.
Dipimpin Oleh:
Sukiman Wiryosanjoyo
Program :
a) Menjamin keamanan dan ketentraman
b) Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui
hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
c) Mempercepat persiapan pemilihan umum.
d) Menjalankan politik luar negeri secara bebas
aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
Hasil
:
Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjtkan
program Natsir hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan
programnya, seperti awalnya program Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman
selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman
Kendala/ Masalah
yang dihadapi :
Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri
Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle
Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika
kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam MSA
terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan
memperhatiakan kepentingan Amerika.
Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah
melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong
ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
Adanya krisis moral yang ditandai dengan
munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan
barang-barang mewah.
Masalah Irian barat belum juga teratasi.
Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik
tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di
Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Muncul pertentangan dari Masyumi dan PNI atas
tindakan Sukiman sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR
akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya
kepada presiden.
C. KABINET
WILOPO (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet
yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam biangnya.
Dipimpin Oleh :
Mr. Wilopo
Program :
Program dalam negeri : Menyelenggarakan pemilihan
umum (konstituante, DPR, dan DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat,
meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan.
Program luar negeri : Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian
Barat ke pangkuan Indonesia, serta menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Hasil : –
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan
karena jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor
terus meningkat.
Terjadi defisit kas negara karena penerimaan
negara yang berkurang banyak terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen
sehingga membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.
Munculnya gerakan sparatisme dan sikap
provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa
ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan
upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap
tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan
kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI
sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh
Kolonel Bambang Supeno sehingga ia mengirim petisi mengenai penggantian KSAD
kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga
menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin diperparah dengan adanya
surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan
keamanana di Sulawesi Selatan.
Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi di
berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen. Sementara itu TNI-AD yang
dipimpin Nasution menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan.
Tetapi saran tersebut ditolak.
Muncullah mosi tidak percaya dan menuntut
diadakan reformasi dan reorganisasi angkatan perang dan mengecam kebijakan
KSAD.
Inti peristiwa ini adalah gerakan sejumlah
perwira angkatan darat guna menekan Sukarno agar membubarkan kabinet.
Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai
persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian
KMB pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan
memiliki tanah-tanah perkebunan. Tanah perkebunan di Deli yang telah
ditinggalkan pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh para petani di
Sumatera Utara dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953
muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang
dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau
pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan
beberapa petani terbunuh.
Intinya peristiwa Tanjung Morawa merupakan
peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai
persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi
tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga
Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden.
D. KABINET ALI SASTROAMIJOYO I (31 Juli 1953 – 12
Agustus 1955)
Kabinet ini merupakan koalisi antara PNI dan NU.
Dipimpin Oleh : Mr. Ali Sastroamijoyo
Program :
Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera
menyelenggarakan Pemilu.
Pembebasan Irian Barat secepatnya.
Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan
kembali persetujuan KMB.
Penyelesaian Pertikaian politik
Hasil :
Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota
parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955.
Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun
1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum
juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan
Aceh.
Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa
yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang
merupakan kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai
Kepala Staf AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet.
Sebagai gantinya mentri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo tetapi
panglima AD menolak pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya
dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD.
Bahkan ketika terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955 tidak seorangpun
panglima tinggi yang hadir meskipun mereka berada di Jakarta. Wakil KSAD-pun
menolak melakukan serah terima dengan KSAD baru.
Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya
korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan.
Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap
pemerintah.
Munculnya konflik antara PNI dan NU yang
menyebabkkan, NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada
tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Nu menarik dukungan dan menterinya dari kabinet
sehingga keretakan dalam kabinetnya inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan
mandatnya pada presiden.
E.
KABINET
BURHANUDDIN HARAHAP (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Dipimpin
Oleh : Burhanuddin Harahap
Program :
Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu
mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang
sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru
Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan
korupsi
Perjuangan pengembalian Irian Barat
Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik
luar negeri bebas aktif.
Hasil :
Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis
pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih
konstituante). Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai
yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang memperoleh suara
terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.
Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian
Barat dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Pemberantasan korupsi dengan menangkap para
pejabat tinggi yang dilakukan oleh polisi militer.
Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan
Kabinet Burhanuddin.
Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955
dengan mengangkat Kolonel AH Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28
Oktober 1955.
Kendala/ Masalah
yang dihadapi :
Banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan
dianggap menimbulkan ketidaktenangan.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet
Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan yang cukup
terhadap kabinet sehingga kabinetpun jatuh. Akan dibentuk kabinet baru yang
harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula.
F.
KABINET ALI
SASTROAMIJOYO II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai
yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Dipimpin Oleh :
Ali Sastroamijoyo
Program :
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan
Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut.
Perjuangan pengembalian Irian Barat
Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat
terbentuknya anggota-anggota DPRD.
Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan
pegawai.
Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi
ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Selain itu program pokoknya adalah,
-
Pembatalan KMB,
-
Pemulihan
keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar
negeri bebas aktif,
-
Melaksanakan
keputusan KAA.
Hasil :
Mendapat dukungan penuh dari presiden dan
dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment, hasilnya
adalah Pembatalan seluruh perjanjian KMB.
Kendala/ Masalah
yang dihadapi :
Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat.
Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang
semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan
militer seperti Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera
Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan
Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena
pemerintah pusat dianggap mengabaikan pembangunan di daerahnya.
Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah
baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak
pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya pada orang Cina karena memang
merekalah yang kuat ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat melindungi
pengusaha nasional.
Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI.
Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya sesuai
tuntutan daerah, sedangkan PNI berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti
meninggalkan asas demokrasi dan parlementer.
Berakhirnya
kekuasaan kabinet :
Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat
kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.
G. KABINET DJUANDA ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet
yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya. Dibentuk karena
Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950.
Serta terjadinya perebutan kekuasaan antara partai politik.
Dipimpin Oleh :
Ir. Juanda
Program :
Programnya disebut Panca Karya sehingga sering
juga disebut sebagai Kabinet - Karya, programnya yaitu :
-
Membentuk Dewan
Nasional
-
Normalisasi
keadaan Republik Indonesia
-
Melancarkan
pelaksanaan Pembatalan KMB
-
Perjuangan
pengembalian Irian Jaya
-
Mempergiat/mempercepat
proses Pembangunan
-
itu dilakukan untuk menghadapi pergolakan yang
terjadi di daerah, perjuangan
-
pengembalian
Irian Barat, menghadapi masalah ekonomi serta keuangan yang sangat buruk.
Hasil :
Mengatur kembali batas perairan nasional
Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan
laut teritorial. Melalui deklarasi ini menunjukkan telah terciptanya Kesatuan
Wilayah Indonesia dimana lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh
dan bulat.
Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang
bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam
masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk
menegakkan sistem demokrasi terpimpin.
Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk
meredakan pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah
pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian
wilayah RI.
Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk
mengatasi masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
-
Kegagalan
Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin meningkat.
Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat. Munculnya
pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
-
Keadaan ekonomi
dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit dilaksanakan.
Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
-
Terjadi
peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden
Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah tempat
putra-purinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini
menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan negara.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi
Terpimpin.
Masa Demokrasi
Terpimpin (5 Juli 1959 - 11 Maret 1966)
Politik hukum pada masa ini disebut “ Masa
Demokrasi Terpimpin “atau lebih dikenal dengan
“Masa Orde lama “. Masa demokrasi terpimpin ini dimulai dengan dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku
lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan
tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. Alasan
dikeluarkannya Dekrit Presiden tersebut adalah bahwa Konstituante tidak mungkin
lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya untuk membuat
Undang-Undang Dasar. Keadaan seperti ini dapat menimbulkan keadaan
ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan kesatuan, dan keselamatan
Negara. Pada tanggal 5 Juli 1959 tersebut Presiden RI mengeluarkan dekrit yang
menyatakan pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945. Setelah
keluarnya Dekrit tersebut, Presiden Soekarno memberikan kesempatan kepada DPR
hasil Pemilu 1955 untuk tetap bekerja. Dengan berlakunya kembali UUD 1945 maka
sistem pemerintahan yang dianut adalah Presidensiil, dimana Presiden yang
menjadi Kepala Negara juga menjadi kepala Pemerintahan dan Presiden tidak
bertanggungjawab kepada DPR tetapi kepada MPR.
Dalam masa ini sistem Presidensiil tersebut
dianut tidak secara murni atau “Quasi”, karena Presiden masih bertanggungjawab
kepada MPR dan Presiden dapat diberhentikan oleh MPR dalam suatu sidang
istimewa MPR, atas perintah DPR apabila DPR menganggap Presiden telah melanggar
GBHN.
Pada masa ini disebut Demokrasi Terpimpin karena
arah kebijakan pemerintah yang dibentuk oleh Presiden dalam rangka kembali ke
UUD 1945 adalah pemerintahan yang non demokratis dan sistem politik yang akan
dibangun adalah sistem politik yang non demokratis pula. Hal itu dapat diamati
dari definisi pada butir-butir pada ketentuan umumnya, antara lain yaitu:
- Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang cocok
dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia.
- Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi disegala
soal atau bidang kenegaraan dan kemasyarakatan, yang meliputi bidang-bidang
politik, ekonomi dan sosial.
- Konsekwensi dari prinsip Demokrasi Terpimpin
adalah:
a) Penertiban dan pengaturan menurut wajarnya
kehidupan kepartaian sebagai alat perjuangan dan pelaksana cita-cita bangsa
Indonesia dalam suatu Undang-undang kepartaian, yang ditujukan terutama kepada
keselamatan negara dan rakyat Indonesia, sebagaimana diputuskan oleh Musyawarah
Nasional pada bulan September 1957, dengan jalan yang demikian dapat dicegah
pula adanya multi partai yang pada hakikatnya mempunyai pengaruh tidak baik
terhadap stabilitas politik di negara kita.
b) Menyalurkan golongan-golongan fungsional, yaitu
kekuatan-kekuatan potensi nasional dalam masyarakat kita, yang tumbuh dan
bergerak secara dinamis, secara efektif dalam perwakilan guna kelancaran roda
pemerintahan dan stabilitas politik.
c) keharusan adanya sistem yang lebih menjamin
komunitas dari pemerintah, yang sanggup bekerja melaksanakan programnya, yang
sebagian besar dimuat dalam pola pembangunan semesta.
Walaupun dalam butir (2) dari definisi Demokrasi
terpimpin itu disebutkan bahwa Demokrasi Terpimpin bukanlah diktator, namun
sangat berlainan dengan demokrasi Liberal, padahal dari ketiga definisi diatas,
arah menuju diktator atau otokrasi ataupun otoriter nampak jelas. Karena campur
tangan penguasa dalam semua aspek kehidupan masyarakat, dan masuknya golongan
fungsional terutama TNI dalam konfigurasi politik secara formal akan menjadi
kendala dalam sebuah negara yang demokrasi.
I. Format
Politik
Format politik dalam masa Demokrasi Terpimpin
adalah sejak munculnya Soekarno sebagai penguasa tunggal dan makin berperannya
TNI dan PKI dalam sistem politik yang dibangun serta merosotnya peranan
partai-partai politik. Soekarno tidak hanya berperan sebagai kepala negara
Konstitusional, tetapi sudah menjadi kepala Eksekutif, pemimpin besar refolusi,
dan Panglima tertinggi Angkatan Bersenjata.
Semua kekuasaan pemerintah berada ditangan
Soekarno dan sesuai dengan konsep demokrasi terpimpin, maka Soekarno ikut
campur tangan dalam semua aspek kehidupan masyarakat, dan berwenang
mengeluarkan Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden tanggal : 5 Juli 1959.
Dari uraian diatas maka format politik atau ciri
khas dari sistem politik pada Masa Demokrasi Terpimpin adalah:
1. Munculnya Presiden Soekarno sebagai penguasa
tunggal di Indonesia dan mengkonsentrasikan hampir seluruh kekuasaan
penyelenggaraan negara kedalam tangannya, antara lain:
-
Mengangkat
sendiri anggota-anggota MPRS, DPRS.
-
Menempatkan
Mahkamah Agung sebagai pembantunya atau sebagai kabinetnya.
-
Memberi kuasa
pada dirinya untuk mengeluarkan Penetapan Presiden, dan Peraturan Pemerintah
dan Peraturan Pemerintah 5 Juli 1959.
2. Munculnya TNI, terutama Angkatan Darat sebagai
kekuatan besar dibawah Soekarno.
3. Munculnya PKI sebagai kekuatan baru dalam
perpolitikan di Indonesia.
Pada akhir kekuasaan rezim Demokrasi Terpimpin
ini, Presiden diharuskan memberikan pertanggung-jawaban kepada MPRS, pada
Sidang Umum MPRS tahun1966, Presiden Soekarno menyampaikan Pidato “Nawaksara“
yang dianggap sebagai bentuk pertanggungjawaban Presiden kepada MPRS.
Namun pertanggungjawaban tersebut ditolak oleh
MPRS karena tidak mencantumkan sebab-sebab terjadinya peristiwa G.30 S/PKI,
Kemunduran Ekonomi serta kemunduran akhlak.
II. Konfigurasi
Politik
Setelah dikeluarkannya Dikrit Presiden 5 Juli
1959, Presiden Soekarno memberikan kesempatan kepada DPR hasil pemilu 1955
untuk tetap bekerja sesuai dengan UUD 1945. Untuk mempertahankan kekuasaannya
Presiden Soekarno mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain:
a) Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1959, tentang
tugas-tugas DPR harus sesuai dengan UUD-1945.
b) Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1960, tentang
Pembubaran DPR hasil Pemilu 1955.
c) Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1960, tentang
Pembentukan DPR GR
d) Peraturan Presiden Nomor 156 Tahun 1960, Tentang
pengangkatan DPR GR.
e) Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1960, tentang
Masuknya golongan fungsional dalam keanggotaan DPR GR.
f) Penetapan Presiden Nomor 12 Tahun 1960, tentang
susunan keanggotaan MPRS.
g) Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960, tentang
pengangkatan anggota MPRS.
h) Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1960, tentang
syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian.
i) Keputusan Presiden Nomor 128 Tahun 1961, tentang
pengakuan pemerintah hanya ada 8 (delapan) partai politik, yaitu : PNI, NU,
PKI, PARTAI KATOLIK, PARTAI INDONESIA, PARTAI MURBA, PSII, dan IKATAN PENDUKUNG
KEMERDEKAAN INDONESIA (IPKI).
j) Keputusan Presiden Nomor 400 Tahun 1961, tentang
pengakuan pemerintah terhadap penambahan 2 (dua) partai lagi, yaitu PARTAI
KRISTEN INDONESIA dan PARTAI PERSATUAN TARBIAH ISLAMIYAH (PERTI).
Dengan demikian jumlah partai politik yang diakui
menjadi berjumlah 10 (sepuluh) partai, ke sepuluh partai ini memiliki
perwakilannya di DPR GR, sedangkan keberadaan Partai Masyumi, PSI dan lain-lain
tidak diakui lagi. Tetapi sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan bahwa
sistim politik yang non demokratis, maka jumlah wakil partai-partai politik di
DPR GR hanya 130 orang dibanding wakil golongan fungsional yang jumlahnya 150
orang dan satu orang wakil dari Irian Barat.
Adapun komposisi keanggotaan DPR GR pada Masa
Demokrasi terpimpin berjumlah 281 orang. Komposisi politik tersebut di atas,
selain Presiden Soekarno sebagai penguasa tunggal, konfigurasi politik pada
masa demokrasi terpimpin juga menunjukkan bahwa semua anggota DPR GR tersebut
diangkat oleh Presiden, sehingga harus tunduk kepada kemauan Presiden. Dengan
demikian semua keinginan Presiden dalam membentuk Undang-undang dan peraturan
lainnya akan mudah tanpa ada kekhawatiran untuk ditentang oleh
kekuatan-kekuatan politik dalam lembaga perwakilan tersebut. Akibatnya hukum
yang dibentuk umumnya akan menjauh dari realitas social.
III. Politik
Hukum
Politik hukum yang terjadi pada masa ini
menghasilkan definisi Demokrasi terpimpin, yang mana politik hukum demokrasi
terpimpin telah menetapkan hukum-hukum atau peraturan perundang-undangan yang
mendukung konsep demokrasi terpimpin tersebut demi mempertahankan kekuasaannya.
Politik hukum pada masa ini ditujukan untuk melaksanakan program yang telah
disusun dalam Pembangunan Nasional Semesta Berencana, yaitu dengan cara
menetapkan hukum atau perundang-undangan sebagai landasan yuridis yang mengatur
pelaksanaan pembangunan. Karena itu, dengan politik hukum akan dapat diprediksi
terciptanya hukum yang mengatur campur tangan pemerintah, terutama dalam bidang
hukum itu sendiri dan perekonomian.
Untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintah
dalam kerangka Demokrasi terpimpin, Presiden menempuh kebijakan yang mendua
tentang bentuk peraturan perundang-undangan yang akan digunakan yaitu:
a. Dalam rangka pelaksanaan UUD-1945, meliputi:
-
Ketetapan MPRS
-
Undang-undang
-
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU).
-
Peraturan
Pemerintah
-
Keputusan
Presiden
b. Penetapan Presiden, dengan peraturan
pelaksanaannya.
Politik hukum yang ditempuh Presiden pada
permulaan Masa Demokrasi Terpimpin adalah kebijakan untuk mengukuhkan
kekuasaannya sebagai penguasa tunggal tanpa adanya perlawanan yang berarti dari
legislatif. Namun menjelang berakhirnya masa demokrasi terpimpin ini
pelaksanaannya sudah tidak mudah lagi, banyak pertentangan dan gejolak dalam
masyarakat yang menentang kebijakan Presiden, dan kondisi perekonomian juga
semakin merosot.
Untuk meredam pertentangan dan gejolak tersebut
Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963, tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi. Kemudian dalam perundang-undangan Presiden
juga mengeluarkan Undang-undang Nomor 19 tahun 1964, tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sedangkan implikasi hukum terhadap UU No. 5 tahun
1950 setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden tersebut tetap berlaku, namun
perkembangan selanjutnya menyebabkan penerapan politik hukumnya berbeda dengan
periode sebelum dekrit 5 Juli 1959. Hal ini karena makin disadari bahwa
kehidupan militer memiliki corak kehidupan khusus, disiplin tentara yang hanya
dapat dimengerti oleh anggota tentara itu sendiri. Karena itu dirasakan perlunya
fungsi peradilan militer yang diselenggarakan oleh anggota militer itu sendiri.
Pada tanggal 30 Oktober 1965 di undangkan
Keputusan Presiden No. 22 tahun 1965, tentang perubahan dan tambahan beberapa
pasal dalam UU No. 5 tahun 1950. Perubahan-perubahan tersebut adalah tentang
pengangkatan pejabat-pejabat utama pada badan-badan peradilan militer.Dengan
adanya ketentuan tentang pengangkatan tersebut, maka ketua pengadilan tentara
dan pengadilan tentara tinggi, yang menurut ketentuan lama, karena jabatannya dijabat
oleh oleh Ketua Pengadilan Negeri/Ketua Pengadilan Tinggi, sekarang di jabat
oleh pejabat dari kalangan Militer sendiri.
Penyiapan tenaga ini telah dilakukan sejak tahun
1952 dengan mendirikan dan mendidik para perwira pada akademi hukum militer. Tahun
1957 angkatan I telah lulus kemudian melanjutkan ke Fakultas Hukum dan
pengetahuan masyarakat, Universitas Indonesia.
Tahun 1961 merupakan awal pelaksanaan peradilan
militer diselenggarakan oleh para perwira ahli/sarjana hukum, sesuai dengan
Instruksi Mahkamah Agung Nomor 229/MA/1961, bahwa mulai September 1961 hakim
militer sudah harus mulai memimpin sidang pengadilan tentara.
Dengan perkembangan tersebut di atas, dimulailah
babak baru dalam penyelenggaraan Peradilan Militer. Perkembangan selanjutnya adalah
bahwa anggota dari suatu angkatan Bersenjata diperiksa dan diadili oleh hakim
dan jaksa dari angkatan yang bersangkutan. Perkembangan selanjutnya yang perlu
mendapat perhatian adalah di undangkannya Undang-undang No. 3 tahun 1965
tentang memberlakukan Hukum Pidana Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara dan
Hukum Disiplin tentara bagi Angkatan Kepolisian pada tanggal 15 Maret 1965.
Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya UU. No. 23 tahun 1965 pada tanggal 30
Oktober 1965 yang menetapkan bahwa dalam Peradilan tingkat pertama bagi
Tamtama, Bintara dan Perwira polisi yang melakukan tindak pidana di adili oleh
badan peradilan dalam lingkungan angkatan kepolisian. Sebelumnya diadili di
badan peradilan Angkatan Darat dan Angkatan Laut untuk yang kepulauan Riau.
Dengan demikian lingkungan Peradilan Militer dalam pelaksanaannya terdiri dari:
1. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Darat
2. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Laut
3. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Udara
4. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Kepolisian
-
Daftar
Pustaka –
Syafiie,
Inu Kencana. 2011. Sistem Pemerintahan
Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Simanjuntak,
PHH (2003) Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal
Kemerdekaan Sampai Reformasi (Cabinets of the Republic of Indonesia: From the
Start of Independence to the Reform era), Penerbit Djambatan, Jakarta