Senin, 06 Maret 2017


SEJARAH PEMERINTAHAN INDONESIA DARI 17 AGUSTUS 1945 HINGGA 1968                     
                            

MATA KULIAH:
SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA



A.              PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA
Pada tanggal 6 Agustus 1945, jatuhlah bom atom Amerika Serikat di kota Hiroshima. Pemimpin-pemimpin Jepang mengetahui bahwa negaranya telah mendekati Begitu juga Jenderal Terauchi, Panglima Angkatan Perang Jepang untuk Asia Tenggara yang berkedudukan di Saigon. Agar tidak kehilangan muka terhadap bangsa Indonesia, Jenderal Terauchi pada tanggal 7 Agustus 1945 mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia di kemudian hari akan diberikan kemerdekaan sebagai anggota Kemakmuran Bersama Asia Timur (akan diberikan pada tanggal 24-8-1945).
Untuk menerima petunjuk-petunjuk tentang penyelenggaraan kemerdekaan itu, Ir Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, dan Dr. Radjiman Wedyodiningrat diminta datang ke Saigon pada tanggal 9 Agustus 1945. Tetapi ketika bom atom kedua meledak di Nagasaki, Jepang tak ada kesempatan dan tak punya kekuasaan lagi untuk memikirkan nasib bangsa lain
Pada tanggal 15 Agustus 1945 menyerahlah Jepang tanpa syarat kepada sekutu. Lenyaplah janji kemerdekaan" dari Jenderal Terauchi. Dengan penandatanganan penyerahan Jepang tanpa syarat pada tanggal 2 September 1945 geladak perang Amerika “Missori” lenyap pulalah cita-cita Jepang untuk membentuk Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya di bawah pimpinannya.
Berhubung dengan kekalahan Jepang itu, maka padajam 10.00 pagi,nhari Jumat tanggal 17Agustus 1945, di depan gedung Jalan Pegangsaan Timur No. 56 (sekarang Jalan Proklamasi) Jakarta, Proklamasi Kemerdekaan Bangsa dan Tanah Air Indonesia diumumkan kepada dunia: Indonesia Merdeka! Indonesia siap untuk mempertahankan kemerdekaannya
Pada tanggal 17 Agustus 1945 itu sampailah perjuangan rakyat Indonesia mengantarkan rakyat dan bangsa Indonesia ke"Jembatan Emas Kemerdekaan namun kemerdekaan itu harus dibela dan dipertahankan

B.              ARTI PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, adalah sumber hukum bagi pembentukan Negara Kesatuan RI. Proklamasi kemerdekaan itu telah mewujudkan negara RI dari Sabang hingga Merauke. Namun, negara yang diproklamasikan kemerdekaannya itu bukanlah merupakan tujuan semata-mata, melainkan hanyalah alat untuk mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara, yakni membentuk masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila
Adapun arti Proklamasi dalam garis besarnya, yaitu:
a.  lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia,
b. puncak perjuangan pergerakan kemerdekaan, setelah berjuangberpuluh-puluh tahun sejak 20 Mei 1908;
c. titik tolak pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat. Sejarah pemerintahan Indonesia bermula semenjak bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17Agustus 1945.
Sebelum itu, sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah suatu bangsa yang bergerak dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaannya kembali dari tangan penjajahan Semenjak hari proklamasi kemerdekaan itu, sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah dari suatu bangsa yang merdeka dan bernegara, sejarah bangsa Indonesia menyusun pemerintahannya.
Dasar-dasar pemerintahan suatu negara pada umumnya terletak dalam undang-undang dasar dari bangsa yang bersangkutan. Bagi bangsa Indonesia, sejarah pemerintahannya telah mulai sejak berlakunya UUD ke-1: Undang-Undang Dasar Proklamasi 1945 (UUD 1945) pada tanggal 18 Agustus 1945
C.         LAHIRNYA PEMERINTHN INDONESIA
Pada tanggal 29 April pemerintah Jepang di Jakarta membentuk Badan Dokuritsu Junbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (BPPK), Badan ini berangotakan 62 orang dan diketuai oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat. walaupun menggunakan siasat bekerjasama dengan Jepang, namun pada cita-citanya untuk membelokan tujuan tindakan-tindakan pemerintah jepang kearah yang mereka cita-citakan.
BPPK ternyata segera keluar dari batas-batas
Tindakan-tindakan BPPK ternyata segera keluar dari batas-batas tugas yang diberikan kepadanya oleh pemerintah Jepang. Tidak saja badan itu sekadar "menyelidiki segala sesuatu mengenai persiapan kemerdekaan Indonesia", tetapi badan ini langsung membicarakandasar-dasar negara Indonesia Merdeka dan merencanakan Undang-Undang Dasar Indonesia.
Selama berdirinya, BPPK mengadakan sidang dua kali, yakni: dari tanggal 29 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, dan dari tanggal 10 sampai 16 Juli 1945. BPPK membentuk suatu panitia perumus, suatu panitia kecil yang ditugaskan untuk merumuskan hasil-hasil perundingan badan itu.
Panitia perumus ini mempunyai 9 orang anggota, yakni: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso Abdulkahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo, K.H.A Wahid Hasyim, dan Mr Muhammad Yamin. Panitia tersebut pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil menyusun rancangan Pembukaan UNdang-Undang Dasar 1945.
Di samping itu, BPPK telah pula berhasil menyusun sebuah rancangan Undang-Undang Dasar Indonesia Merdeka pada tanggal 16 juli 1945. Setelah selesai menyusun rancangan Undang-Undang Dasar Indonesia, BPPK dibubarkan dan sebagai gantinya pada tanggal 9 Agustus 1945 dibentuk sebuah badan baru yang disebut Dokuritsu Junbi inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
PPKI ini dibentuk setelah Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Dr Radjiman wedyodiningrat kembali dari Saigon untuk memenuhi undangan Jenderal Terauchi. Ketua PPKI adalah Ir. Soekann
Drs. Moh. Hatta sebagai wakil ketuanya. Para anggota PPKI adalah pemimpin-pemimpin rakyat yang terkenal.
Mereka mewakili daerah dari seluruh wilayah Indonesia. Pada waktumpendiriannya, PPKI mempunyai 21 orang anggota. Kemudian setelah Jepang menyerah kepada sekutu, PPKI ditambah anggotanya 6 orang sehingga menjadi 27 orang dan dijadikan sebuah panitia nasional
Melihat susunan anggotanya yang mewakili seluruh wilayah tanah air kita dan seluruh lapisan masyarakat yang ada di Indonesia, maka pada waktu itu PPKI dapat dianggap sebagai suatu "Badan Perwakilan'' seluruh rakyat Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 disaksikan juga oleh PPKI. Keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan sidangnya dan menetapkan:
a.    Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
b.    Undang-Undang Dasar 1945;
c.    memilih Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia;
d.   pekerjaan Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh sebuah Komite Nasional;
Sidang tanggal 19 Agustus 1945 menetapkan;
a.    pembentukan 12 departemen pemerintahan;
b.    pembagian wilayah Indonesia dalam8provinsi dan tiap provinsi dibagike dalam keresidenan-keresidenan
Dengan terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden atas dasar UUD 1945 itu, secara formal sempurnalah Negara Republik Indonesia. Sejak saat itu, semua syarat yang lazim diperlukan oleh setiap organisasi negara telah ada, yaitu: adanya rakyat negara tertentu, adanya wilayah Negara tertentu, adanya kedaulatan, adanya pemerintahan dan tujuan tertentu yakni sebagai berikut;
a.    Rakyat Negara Indonesia, yakni bangsa Indonesia
b.    Wilayah Negara Indonesia, yaitu tanah air Indonesia yang terdiri dari 17,508 buah pulau besar dan kecil
c.    Kedaulatan Negara Indonesia telah ada semenjak pengucapan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
d.   Pemerintahan Negara Indonesia telah ada semenjak terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden atas dasar UUD 1945 sebagai pucuk pimpinan pemerintahan dalam negara
e.    Tujuan negara ialah mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
f.     Bentuk Negara Indonesia menurut Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 ialah Negara Kesatuan
Pengakuan terhadap negara Indonesia mula-mula datang dari Mesir pada tanggal Maret 1947, kemudian disusul oleh berpuluh-puluh negara lainnya. Pada tanggal 28 September 1950, Indonesia dengan resmi menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai anggota ke-60.
Seperti sudah dijelaskan di atas, PPKI telah menetapkan UUD 1945 pada tanggal 18Agustus 1945.Adapun yang dimaksudkan dengan UUD 1945 itu ialah Konstitusi Republik Indonesia yang pertama yang terdiri dari berikut ini;
a.    Pembukaan, meliputi 4 alinea (yang berasal dari naskah Pembukaan UUD yang disusun oleh Panitia Kecil pada tanggal 22 Juni 1945)
b.    Batang Tubuh atau Isi UUD 1945 meliputi: 16 bab, 37 pasal, 4 pasalAturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan (yang berasal dari rancangan UUD tanggal 16 Juli 1945 disusun oleh BPPK)
c.    Penjelasan resmi UUD 1945 (disusun oleh Prof. Dr. R. Supomo, S.H.)
Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan oleh PPKI didasarkan pada naskah rancangan Pembukaan UUD yang kemudian dikenal dengan nama "Piagam Jakarta" tanggal 22 Juni 1945 (dengan perubahan seperlunya di sana-sini), hasil karya Panitia Kecil (9 orang dari"Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan” (Dokuritsu junbi Tyosakai) yang keseluruhnya beranggotakan 62 orang dan dibentuk oleh pemerintah Jepang
pada tanggal 29 April 1945
Adapun UUD 1945 yang ditetapkan itu berasal dari rancangan UUD 16 Juli 1945 yang disusun oleh badan penyelidik juga sesudah mengalami Kemerdekaan pertumbuhan selanjutnya, Panitia Persiapan Indonesia menjadi inti Komite Nasional yang kemudian dinamakan Komite Nasional Pusat (KNP) sesudah ditambah dengan pemimpin-pemimpin rakyat dari segala golongan aliran dan lapisan seperti pangrehpraja, alim ulama, kaum pergerakan pemuda, kaum pedagang
dan lain-lain.
Pembukaan UUD 1945 terdiri dari empat alinea dan pokok-pokok pikiran yang terpenting di dalamnya ialah;
a.       Negara Indonesia haruslah suatu negara yang berdasarkan aliran pengertian negara persatuan (paham unitarisme)
b.      Dasar Negara Indonesia yang terkenal dengan Pancasila, yaitu;
-         Ketuhanan Yang Maha Esa,
-         Kemanusiaan yang adil dan beradab
-         Persatuan Indonesia;
-         Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalampermusyawaratan/perwakilan;
-         Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari UUD Negara Indonesia. UUD menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya.
UUD 1945 seluruhnya terdiri dari 37 pasal, 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan beserta penjelasan UUD 1945.
Sistem pemerintahan negara yang ditegaskan dalam UUD 1945, beserta penjelasannya ialah;
  1. Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum;
  2. Sistem konstitusional, yang berarti bahwa pemerintahan berdasaratas konstitusi (hukum dasar), jadi tidak bersifat kekuasaan yangtidak terbatas (absolutisme);
  3. Kekuasaan negara yang tertinggi berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
  4. Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah MPR;
  5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
  6. Menteri negara ialah pembantu Presiden; Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR
  7. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas, karena kepala negara harus bertanggung jawab kepada MPR dan kecuali itu ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR,
  8. DPR tidak dapat dibubarkan oleh Presiden.

D.              KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MENURUT UUD 1945
Adapun Undang-Undamg Dasar Repunlik Indonesia yang telah ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan pada hari Sabtu, tanggal 18 Agustus 1945 dan mulai berlaku pada hari itu juga, antara lain memuat Bab III yang berjudul : “kekuasaan pemerintah negara”. Bab III ini terdiri atas 12 pasal yaitu pasal 4 sampai pasal 15.
Pasal 4 berbunyi sebagai berikut: Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut undang-undang dasar; dalam melakukan Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.
Pasal 5 menentukan: Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Kemudian menyusul Pasal 6 tentang syarat bahwa Presiden harus orang Indonesia aslidan Presiden serta Wakil Presiden dipiliholeh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak. Pasal 7 mengenai lamanya Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya. Pasal 8 tentang perwakilan oleh Wakil Presiden jika Presiden berhalangan dan Pasal 9 mengenai sumpah janji Presiden dan Wakil Presiden.
Selanjutnya, Pasal 10 sampai dengan Pasal 15 menerangkan beberapa hak Presiden yaitu bahwa menurut Pasal 10 Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Pasal 11 menentukan bahwa Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain. Pasal 12 mengenai hak Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat, dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 13 mengenai hak Presiden mengangkat duta dan konsul serta menerima duta negaralain. Pasal 14 menerangkan hak Presiden memberi grasi, amnesti, abolisidan rehabilitasi, sedangkan Pasal 15 mengenai hak Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan
Beberapa hak ini dinamakan juga hak prerogatif Presiden. Kemudian terdapat Bab V tentang Kementerian Negara. Bab ini hanya mempunyai satu pasal, yaitu Pasal 17 yang berbunyi: Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan
Selanjutnya, ada Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat yang terdiri atas Pasal 19 sampai dengan Pasal 22
Pasal 19 mengenai susunan Dewan Perwakilan Rakyat dan waktu sidangnya
Pasal 20 menentukan, bahwa tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu
Pasal 21 mengenai hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat yang berbunyi: Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan rancangan undang-undang. Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Akhirnya, Pasal 22 mengatur keadaan darurat. Menurut pasal itu bahwa: Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Kemudian ada Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, yang terdiri dari 2 pasal, yaitu Pasal 24 dan 25
Pasal 24 berbunyi: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang
Pasal 25 menentukan pula, bahwa: Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang
Dari bab-bab tersebut di atas ternyata bahwa Undang-Undang Dasar 1945 tidak membedakan dengan tegas antara kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif seperti Montesquieu lengkapnya: Charles Louis secondat, Baron de La Brede et Montesquieu) dengan Trias Politica-nya. Malahan Bab IIL Kekuasaan Pemerintahan Negara meliputi kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif, termasuk hak-hak prerogatif. Selanjutnya, kekuasaan legislative diatur juga dalam Bab VII mengenai Dewan Perwakilan Rakyat, sedang kekuasaan eksekutif juga pada Bab V mengenai Kementerian Negara.
Di samping itu, kekuasaan Konstituante, yaitu kekuasaan mengenai atau undang-undang dasar, diatur di bagian lain, yaitu di Bab II mengenai Permusyawaratan Rakyat, Pasal 3 yang berbunyi: Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan di Bab XVI tentang Perubahan Undang-Undang Dasar, Pasal 37 yang menentukan bahwa: untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir. Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
Oleh Pemerintah Republik Indonesia, undang-undang dasar dan pasal-pasalnya diberi penjelasan
Mengenai soal-soal yang tersebut di atas, Penjelasan UUD 1945 itu berbunyi sebagai berikut.

SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA
Sistem pemerintahan yang ditegaskan alam undang-undang dasar, ialah
         I.     Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat) Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat)
      II.     Sistem Konstitusional. Pemerintahan berdasar atas konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)
   III.     Kekuasaan negara yang tertinggi berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat. (Die gesamte Staatsgewalt liegt allein bei der Majelis).
   Kedaulatan rakyat di pegang oleh suatu badan bernama "Majelis Permusyawaratan Rakyat", sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolk)
   Majelis ini menetapkan undang-undang dasar dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Majelis ini mengangkat kepala Negara (Presiden) dan wakil kepala negara wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh majelis. Presiden yang diangkat oleh majelis tunduk dan bertanggung jawab kepada majelis. Ia adalah "mandataris" dari majelis. Ia wajib menjalankan putusan-putusan majelis. Presiden tidak "neben" akan tetapi "untergeordnet" kepada majelis
   IV.     Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi di bawah majelis Di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the President)
      V.     Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Di samping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk undang-undang (Gezetzgebung) dan untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Staatsbegrooting). Oleh karena itu, Presiden harus bekerja bersama-sama dengan dewan, akan tetapi Presiden tidak bertanggungjawab kepada dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari dewan.
   VI.     Menteri negara ialah pembantu Presiden; menteri negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri Negara Menteri-menteri itu tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya tidak tergantung pada dewan akan tetapi tergantung pada Presiden
VII.     Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas. Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat , ia bukan diktator artinya kekuasaan  tak terbatas.
   Diatas telah ditegaskan, bahwa ia bertanggung jawab kepada Majlis Permusyawaratan Rakyat. Kecuali itu, ia harus memeperhatikan sunguh-sungguh usaha Dewan Perwakilan Rakyat
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Dewan dapat dibubarkan oleh Presiden (berlainan dengan sistem parlementer) Kecuali itu, anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat semuanya merangkap menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh
karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden, dan jika dewan menganggap bahwa presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh undang-undang dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka majelis
itu dapat diundang untuk persidangan istimewa supaya bisa mintapertanggungjawaban kepada Presiden.
Menteri-menteri negara bukan pegawai negeri biasa melainkan pegawai tinggi negara
Meskipun kedudukan menteri negara tergantung pada Presiden, akan tetapi mereka bukan pegawai negeri biasa, oleh karena menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah (executive power) dalam praktik
Sebagai pemimpin departemen, menteri mengetahui seluk beluk hal-hal yang mengenai lingkungan pekerjaannya. Berhubung dengan itu, menteri mempunyai pengaruh besar terhadap Presiden dalam menentukan politik negara yang mengenai departemennya. Memang yang dimaksudkan ialah para menteri itu pemimpin-pemimpin Negara
Untuk menetapkan politik pemerintah dan koordinasi dalam pemerintahan negara, para menteri bekerja bersama satu sama lain seerat-eratnya di bawah pimpinan Presiden.

E.               PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DALAM MASA PERALIHAN
Menurut bunyi Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, maka sebelum MPR, DPR, dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dibentukmenurut UUD 1945 segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. Jelas  menurut ketentuan ini bahwa segala kekuasaan kenegaraan dalam masa peralihan berada dalam tangan Presiden,  sedangkan Komite Nasional adalah semata-mata pembantu Presiden, jadi hanya sekedar memberikan pertimbangan-pertimbangan dan usul-usul.
Komite Nasional yang dimaksud di sini dilantik pada tanggal 29 Agustus 1945 dengan anggota lebih kurang 150 orang. Sebagai inti ialah para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang sebelumnya merupakan badan pendahuluan Komite Nasional. Jumlah susunan Komite Nasional ini kemudian mengalami beberapa perubahan dan terakhir atas dasar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang  No. 6 tanggal 30 Desember 1946 diperbanyak menjadi 400 orang
Adapun kedudukan Komite Nasional ini kemudian mengalami perubahan dengan pengeluaran Maklumat No. X tanggal 16 Oktober 1945 (ditandatangani oleh Wakil Presiden RI Moh. Hatta)





Naskahnya adalah sebagai berikut.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Sesudah mendengar pembicaraan oleh Komite Nasional Pusat tentang usul supaya MPR dan DPR dibentuk, kekuasaannya yang hingga sekarang dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional menurut Pasal IV Aturan Peralihan dari UUD, hendaklah dikerjakan oleh Komite Nasional Pusat dan supaya pekerjaan Komite Nasional Pusat itu sehari-harinya berhubungan dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah badan bernama Dewan Pekerja yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat.


Menimbang, bahwa di dalam keadaan yang genting ini perlu ada badan yang ikut bertanggung jawab tentang nasib bangsa Indonesia di sebelah pemerintah. Menimbang selanjutnya, bahwa usul tadi berdasarkan paham kedaulatan rakyat.


Bahwa Memutuskan
Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara serta menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat





Jakarta, 16 Oktober 1945
Wakil Presiden Republik Indonesia
Mohammad Hatta





Dengan berlakunya Maklumat No. x ini, maka kedudukan KNP bukan lagi badan''pembantu" semata-mata, tetapi menjadi badan"yang berwenang penuh bersama-sama dengan Presiden melaksanakan wewenang "perundang-undangan (menurut Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 Pasal 21, dan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945) dan malahan ikut pula menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (sebagian tugas MPR yang tersebut dalam Pasal 3 UUD 1945). Badan Pekerja KNP yang mula-mula dibentuk sebagai pelaksana Maklumat No.x beranggotakan 15 orang.
Adapun sistem kabinet menurut UUD 1945 adalah yang disebut sistem kabinet presidensial (presidential government) artinya para menteri negara tidak bertanggung jawab kepada DPR. Sistem cabinet ini kemudian mengalami perubahan dengan terbentuknya cabinet bertanggung jawab yang pertama, Kabinet Syahrir I, pada tanggal 14 Desember 1945. Perubahan ini mula-mula diusulkan oleh Badan Pekerja KNP yang kemudian diterima oleh Presiden.
Presiden lalu mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14 Desember 1945, yang antara lain menegaskan perihal: "tanggungjawab adalah dalam tangan menteri”.
Sesudah Kabinet Syahrir I itu, maka dalam sejarah pemerintahan RI masih lagi dibentuk beberapa kabinet presidensial, tetapi hal itu dilakukan apabila negara berada dalam keadaan luar biasa (genting) tetapi segera keadaan itu berakhir, maka kembali dibentuk lagi cabinet yang bertanggung jawab

F.               TATA PEMERINTAHAN INDONESIA MENJELANG DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959 KEMBALI KEPADA UUD 1945

1.     Masa Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Seperti telah dikemukakan, sejak permulaan kemerdekaan di kalangan bangsa Indonesia dikehendaki sebuah Negara Kesatuan Negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
"Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik". Nama negara ialah Republik Indonesia (RI) dan wilayah kekuasaannya ialah seluruh wilayah bekas Hindia-Belanda dahulu
Tetapi ketika kembali ke Indonesia sesudah akhir perang dunia kedua, Belanda berusaha untuk mengubah susunan negara RI. Di samping kekerasan senjata yang dilancarkan terhadap RI, Belanda menjalankan politik federalisme, sebagai politik devide et impera untuk memecah-belah persatuan bangsa
Pada tanggal 15 Juli 1946 di kota Ujungpandang (Makassar diadakan upacara Penyerahan Tanggung Jawab atas Kalimantan, Timur Besar, Bangka, dan Belitung dari pimpinan angkatan perang negara-negara sekutu kepada pemerintah Hindia-Belanda di bawah pimpinan Dr. HJ
Mook.
Pada tanggal 16 Juli 1946 mulailah dibuka Konferensi Malino yang berlangsung hingga tanggal 25 Juli 1946. Dari konferensi ini disusul oleh Konferensi Pangkalpinang yang berlangsung dari tanggal 1-12 Oktober 1946, khusus untuk mendengarkan pendapat golongan "minoritas" dalam
wilayah yang dikuasai Belanda. Kemudian diikuti lagi oleh Konferensi Denpasar yang berlangsung dari tanggal 7-24 Desember 1946. Konferensi ini melahirkan negara yang pertama ialah Negara Indonesia Timur (NTT)
Semenjak itu, Van Mook membentuk negara-negara dalam wilayah yang dikuasainya, malahan kemudian politik itu dijalankan pula dalam wilayah yang menurut Persetujuan Linggarjati de facto dikuasai Pemerintah RI yakni di Jawa, Madura, dan Sumatra. Dengan
Demikian dalam tahun 1947 lahirlah negara-negara Madura, Pasundan, Sumatra Selatan, Jawa Timur, dan lain sebagainya
Dengan politik federalisme ini Belanda bermaksud memperlemah kedudukan RI. Politik ini dipertahankannya terus dalam semua perundingan yang diadakan dengan RI yang akhirnya mencapai taraf terakhir pada KMB di Den Haag
Pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dan dari saat itumulailah berlaku Konstitusi RIS (K-RIS). Dengan berlakunya K-RIS untuk wilayah RIS maka UUD 1945, yang mulanya berlaku untuk seluruh Indonesia, menjadi hanya berlaku dalam wilayah RI sebagai sebuah negara bagian RIS
Konstitusi RIS adalah sebuah konstitusi sementara, karena menurut Pasal 186
K-RIS, Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi RIS yang akan menggantikan konstitusi sementara ini
Seperti telah dikemukakan, permusyawaratan sekitar Konstitusi RIS ini telah dimulai semenjak Konferensi Antar-Indonesia (wakil-wakil RI dan PPF (BFO), baik di Yogyakarta (19-22 Juli 1949) maupun di Jakarta (31 Juli 2 Agustus 1949) dan dilanjutkan di Belanda selama berlangsungnya KMB. Rancangan K-RIS ini digarap oleh wakil dari RI dan daerah-daerah bagian di kota Scheveningen pada tanggal 29 Oktober 1949. Kemudian rancangan ini disahkan oleh badan-badan perwakilan rakyat dan pemerintah-pemerintah daerah bagian masing-masing di Indonesia. Pada tanggal 14 Desember 1949, terjadilah penandatangana Piagam Konstitusi RIS oleh pemerintah masing-masing. Sesuai dengan namanya, K-RIS ini adalah sebuah konstitusi yang berlandaskan aliran federalisme
Bentuk Negara RIS ialah Negara Serikat dan bentuk pemerintahan nya ialah Republik (Pasal 1 ayat (1) K-RIS)
Kedaulatan Negara dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal l ayat (2) K-RIS). Mengenaimateri kedaulatan ini, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan sebagai berikut.
Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya olehMPR". Menurut kata-katanya, maka K-RIS lebih condong kepadapaham kedaulatan rakyat. Lain daripada itu RIS adalah suatu negara hukum (Pasal 1 ayat (1) K-RIS).
Wilayah RIS yaitu wilayah bersama dari:
(1)   Negara Republik Indonesi (dengan daerah statusquo Renville);
Negara Indonesia Timur;
Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta;
Negara Jawa Timur;
Negara Madura;
Negara Sumatra Timur, dengan pengertian, bahwa statusquoAsahan Selatan dan Labuhan Baru berhubungan dengan NST tetap berlaku;
Negara Sumatra Selatan.
(2)   Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri
Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat (Daerah Istimewa) Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur.
(3)   Daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah bagian, yaitu Swapraja Kota Waringin daerah Sabang, daerah Padang yang diperintah oleh alat kelengkapan RIS.
Jadi, wilayah RIS terdiri atas wilayah bersama:
  1. daerah-daerah bagian, dan
  2. daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah bagian.

Adapun seperti ternyata di atas, maka daerah-daerah bagian RIS dibedakan antara:
a.    negara bagian, dan
b.    satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri.
Daerah-daerah bagian adalah daerah-daerah yang dengan kemerdekaan menentukan nasib sendiri bersatu dalam ikatan federasi RIS (Pasal 2 K-RIS), alat-alat kelengkapan federal RIS ialah
(a)           Presiden
(b)          Menteri
(c)           Senat
(d)          Dewan Perwakilan Rakyat
(e)           Mahkamah Agung
(f)           Dewan Pengawas Keuangan
Menurut ketentuan Pasal 68 ayat (1) K-RIS Presiden dan mentei menteri bersama-sama merupakan pemerintah.
Tugas pemerintah ialah menyelenggarakan kesejahteraan Indonesia dan
mengurus supaya konstitusi UU Federal dan peraturan-peraturan lain yang berlaku untuk RIS dijalankan pasal 117 ayat (2) K-RIS).
Presiden RIS ialah Kepala Negara dan dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian. Pemilihan Presiden RIS yang pertama telah dilangsungkan di Yogyakarta pada tanggal 16 Desember 1949: Presiden RI Ir. Soekarno terpilih ketika itu menjadi Presiden RIS dan mengangkat sumpahnya menurut K-RIS pada tanggal 17 Desember 1949. Kelowongan jabatan Presiden RI (negara bagian) yang timbul ketika itu diisi untuk sementara waktu oleh Ketua KNP (Mr. Asaat) selaku pemangku sementara jabatan Presiden RI berdasarkan UU No. 7 Tahun 1949 (RI negara bagian).
Syarat-syarat untuk dipilih menjadi Presiden ialah;
a.  telah berusia 30 tahun
  1. tidak boleh orang yang tidak diperkenankan serta dalam ataumenjalankan hak pilih ataupun orang yang telah dicabut haknya untukdipilih.
Sistem kabinet menurut K-RIS lah kabinet yang bertanggung jawab (cabinet government). Salah satu dari yang utama dari sistem ini ialah bahwa sekaligus Presiden merupakan pula unsur dari pemerintah namun ia tidak dapat diganggu gugat (Pasal 118 K-RIS)
Kabinet RIS atau masing-masing menteri tidak dapat dipaksa meletakkan jabatannya oleh DPR pertama (sementara) RIS yang dibentuk berdasarkan Pasal 109 dan 110 K-RIS (Pasal 122 K-RIS). Menurut ketentuan pasal-pasal ini maka penunjukan anggota-anggota untuk DPR pertama dari daerah-daerah bagian di luar daerah-daerah RI, diatur dan diselenggarakan dengan perundingan bersama-sama oleh daerah-daerah bagian yang bersangkutan dengan memperhatikan asas-asas demokrasi, dan seboleh-bolehnya dengan perundingan dengan daerah yang bukan daerah-daerah bagian. Untuk penentuan jumlah anggota yang akan diutus di antara daerah-daerah itu, diambil sebagai dasar perbandingan jumlah jiwa rakyat dari daerah bagian tersebut (Pasal 109 K-RIS)
Untuk merundingkan bersama sama kepentingan-kepentingan umum, menteri-menteri bersidang dalam Dewan Menteri yang diketuai oleh Perdana Menteri atau hal Perdana Menteri berhalangan salah seorang menteri yang berkedudukan khusus.
K-RIS mengenal adanya;
a.       Menteri-menteri yang berkedudukan menteri-menteri yang tidak berkedudukan khusus;
b.      Menteri-menteri yang berkedudukan khusus; ialah menteri-menteri yang memimpin departemen: pertahanan, urusan dalam negeri, keuangan, urusan dalam hal-hal mendesak para menteri yang berkedudukan khusus ekonomi, dan perdana menteri.
Dalam hal-hal yang mendesak, para mentri yang berkedudukan khususmdapat mengambil keputusan-keputusan yang mengikat, sama kekuatannya seperti keputusan yang diambil dalam sidang lengkap Dewan Menteri (pasal 75 ayat (3)  K-RIS). Syarat-syarat untuk menjadi menteri sama dengan syarat-syarat bagi Presiden, kecuali syarat umur bagi menteri ditetapkan 25 tahun (Pasal 73 K-RIS). Jika perlu karena Presiden berhalangan, maka Presiden dapat memerintahkan perdana menteri menjalankan pekerjaan jabatannya sehari-hari (Pasal 72 ayat (1) K-RIS).
RIS mengenal sistem perwakilan bikameral (dua kamar) terdiri dari:
  1. Senat, dan
  2. Dewan Perwakilan Rakyat
Senat adalah perwakilan daerah-daerah. Setiap daerah bagian mempunyai dua anggota dalam senat, yang berhak mengeluarkan masing-masing satu suara dalam senat (Pasal 80 K-RIS).
Penunjukan anggota-anggota senat dilakukan oleh pemerintah daerah-daerah bagian dari daftar yang diajukan oleh masing-masing perwakilan rakyat dan yang memuat tiga calon untuk tiap-tiap kursi Prosedur penunjukan para anggota senat tersebut ditetapkan sendiri oleh daerah-daerah bagian.
Syarat-syarat untuk menjadi anggota senat adalah sama dengan syarat-syarat untuk Presiden (Pasal 82 K-RIS).Para anggota senat setiap waktu boleh meletakkan jabatannya dengan jalan memberitahukan hal itu dengan surat kepada ketua (Pasal 84 K-RIS),.
Senat turut berwenang bersama-sama pemerintah dan DPR dalam hal:
  1. mengubah Konstitusi RIS (Pasal 190-191 K-RIS)
  2. penetapan UUFederal yang menyangkut satu, beberapa, atau semuadaerah-daerah atau bagian-bagiannya (Pasal 127 huruf a dan 128 ayat (2) K-RIS);
  3. penetapan UU Federal untuk menetapkan Anggaran Belanja RIS (Pasal 168 K-RIS).
Di samping itu, senat berhak dan berwenang untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan/nasihat-nasihat kepada pemerintah mengenai segala hal, baik diminta atau tidak diminta (Pasal 123 K-RIS).
DPR adalah perwakilan seluruh rakyat Indonesia dan terdiri dari 150 anggota yang terbagi atas 50 anggota dari negara bagian RI dan100 anggota dari daerah-daerah selebihnya, yang ditentukan mengenai susunan DPR ini tidak mengurangi hak golongan-golongan kecil Cina, Eropa, dan Arab untuk mempunyai perwakilan dalam DPR sekurang-kurangnya 9 (Cina), 6 (Eropa), dan 3 anggota (Pasal 98, 99, dan 100 K-RIS). Kewenangan utama DPR ialah dalam bidang pembuatan undang-undang.
Pasal 111 ayat (1) K-RIS menentukan bahwa dalam tempo satu tahun sesudah konstitusi mulai berlaku maka di seluruh Indonesia pemerintah memerintahkan mengadakan pemilihan yang bebas dan rahasia untuk menyusun DPR yang dipilih secara umum.
Keanggotaan senat tidak dapat dirangkap dengan:
  1. Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat;
  2. Presiden RIS;
  3. Menteri (Federal);
  4. Jaksa Agung RIS;
  5. Keuangan, Ketua, Wakil Ketua, anggota Dewan Pengawas Keuangan RIS;
  6. Ketua, Wakil Ketua atau anggota Mahkamah Agung Indonesia;
  7. Presiden Bank Sirkulasi;
  8. Wali Negara (daerah bagian);
  9. Menteri (daerah bagian atau Kepala Departemen  daerah bagian  (Pasal 91 K-RIS)
Larangan merangkap jabatan bagi para anggota DPR adalah sama gan yang ditentukan terhadap para anggota senat dengan tambahan 102 para anggota DPR tidak dapat anggota senat (Pasal 102 K-RIS).
Dalam Pasal 180 ditentukan, bahwa Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi RIS yang akan menggantikan konstitusi sementara ini.
Konstituante dibentuk dengan jalan memperbesar DPR yang dipilih menurut Pasal 111 K-RIS dan senat baru yang ditunjuk menurut Pasal 97 K-RIS  dengan anggota-anggota luar biasa sebanyak jumlah anggota majelis itu masing-masing.
Jadi, Konstituante akan terdiri dari:
  1. anggota biasa, ialah para anggota DPR dan senat, serta
  2. anggota luar biasa
Anggota luar biasa itu dipilih ataupun ditunjuk atau diangkat oleh rapat gabungan DPR dan senat, keduanya dengan jumlah anggota dua kali lipat, itulah Konstituante. Segala ketentuan yang berlaku bagi para anggota biasa, berlaku pula terhadap para anggota luar biasa (Pasal 188 K-RIS)
Pembagian kekuasaan antara RIS dengan daerah-daerah bagian dilakukan dengan jalan menyebut satu demi satu (disebut secara limitative pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang dibebankan kepada RIS (Pasal 51 tercantum dalam Lampiran K-RIS. Pokok-pokok selebihnya diselenggarakan sendiri oleh daerah-daerah bagian

2.     Masa Undang-Undang Sementara 1950
Seperti telah dikemukakan, bangsa Indonesia semenjak proklamasi kemerdekaan menghendaki suatu negara kesatuan yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Pembentukan RIS tetaplah dipandang sebagai hasil politik Belanda semata-mata untuk memecah belah persatuan bangsa. Itulah sebabnya segera sesudah pengakuan kedaulatan, di mana-mana di daerah-daerah bagian timbul pergolakan-pergolakan dan yang spontan rakyat untuk kembali ke negara kesatuan dengan jalan menggabungkan diri kepada RI (negara bagian).
Hal penggabungan kepada suatu daerah bagian lain sesungguhnya dapat dilakukan melalui ketentuan-ketentuan Pasal 43 dan Pasal 44 K-RIS. Hanya penggabungan itu memerlukan pengaturannya dengan UU Federal. Terdesak oleh pergolakan-pergolakan yang semakin menghebat di daerah-daerah untuk menggabungkan diri kepada RI (negara bagian) maka pemerintah RIS akhirnya menetapkan UUDarurat No. 11 tanggal 8 Maret 1950, LN 1950/16 tentang cara perubahan susunan kenegaraan wilayah RIS. Selain ditentukan melalui plebisit atau pemilihan umum, UUDarurat ini memungkinkan pula perubahan itu melalui prosedur yang sumir (dipersingkat).
Sebagai akibat penggabungan ini, maka di luar RI masih ketinggalan hanya dua negara bagian, yaitu NIT dan NST. Tetapi akhirnya kedua negara bagian ini pun memberikan mandatt penuh kepada pemerintah federal untuk mengadakan perundingan dengan pemerintah RI (Negara bagian) juga atas nama mereka. Pada tanggal 19 Mei 1950, ditandatanganilah Piagam Persetujuan Pemerintah RIS dan pemerintah RI yang menetapkan antara lain bahwa UUD Negara Kesatuan RI didapat dengan mengubah K-RIS sedemikian rupa, sehingga secara esensial UUD 1945 (Pasal 27, 29, dan 33) ditambah dengan bagian-bagian yang baik dari K-RIS termasuk di dalamnya.
Pada tanggal 20 Juli 1950, pemerintah RIS dan pemerintah RI menyetujui Rancangan UUDS RI yang disusun untuk selanjutnya diteruskan kepada DPR oleh pemerintah dan kepada Badan Pekerja KNP oleh pemerintah RI untuk memperoleh pengesahan.
Pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno menyatakan dalam rapat gabungan DPR dan senat mengenai penandatanganan naskah UU Federal yang memuat naskah UUDS RI dan terbentuknya Negara kesatuan sebagai perubahan dalam negeri.
Pada hari itu juga, Presiden Soekarno menuju Yogyakarta sebagai Presiden RI (negara bagian) untuk menyatakan terbentuknya negara kesatuan itu di hadapan Sidang Istimewa BP KNP kota itu.
UU Federal yang memuat naskah UUDS RI ialah UU No. 7/1950 LN 1950/56) dan mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1950 (Pasal 11 ayat (1)).
Dengan demikian, 1950 tanggal 17 Agustus 1950 bangsa Indonesia kembali ke negara kesatuan, sebagai penjelmaan dari Negara Republik Indonesiaberdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.
UUDS RI  adalah formal sebuah perubahan K-RIS. Perubahan itu adalah demikian, sehingga struktur RI yang menurut K-RIS bersifat federal, berubah menjadi negara kesatuan.
Prosedur yang ditempuh ialah prosedur perubahan konstitusi seperti yang ditetapkan dalam Pasal 190 dan191 K-RIS.
Adapun UUDS RI ini bermula semenjak diadakn perundinganp-perundingan antara pemerintah  RIS (juga atas nama NIT dan NST dengan pemerintah RI yang bertujuan untuk kembali
Ke negara kesatuan sebagai penjelmaandari  RI berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945. Sebagai hasil dari perundingan-perundingan yang diadakan itu, maka pada tanggal 19 Mei 1950 ditandatanganilah piagam persetujuan antara pemerintah RIS dan pemerintah RI (ditandatangani oleh masing-masing perdana menteri).
Sebagai kelanjutan dari piagam persetujuan dan pengumuman itu maka dibentuklah sebuah Panitia Bersama yang ditugaskan terutama merancangkan UUDS Negara Kesatuan (Panitia ini diketuai oleh Prof Dr. Soepomo (pihak RIS) dan oleh Mr. Abdul Hakim (pihak RI).
Hasil pekerjaan panitia bersama ini disampaikan kepada pemerintah RIS dan kepada pemerintah RI pada tanggal 30 Juni 1950. Dengan sedikit perubahan hasil karya panitia itu oleh kedua pemerintah dijadikan Rancangan UUDS RI dan diajukan kepada DPR, senat, dan Badan Pekerja KNP yang tanpa menggunakan hak amandemennya telah menerima rancangan tersebut yang akhirnya menjadi UUDS RI. Oleh karena menurut ketentuan Pasal 190 K-RIS perubahan K-RIS hanyalah dapat diadakan dengan UU Federal, maka perubahan konstitusi ini telah ditetapkan dengan UU Federal No. 7 Tahun 1950, LN 56 Tahun 1950 Pasal 1 undang-undang ini memuat naskah perubahan K-RIS yang kemudian terkenal dengan nama "Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS RI).
Bentuk Negara RI ialah negara kesatuan dan bentuk pemerintahannya ialah republik (Pasal 1 ayat (1) UUDS RI. Tug ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (1) UUDS yang menentukan bahwa  RI yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan. Dengan adanya ketentuan, bahwa adalah suatu negara hukum berartilah negara akan tunduk kepada hukum; kelengkapan hukum berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat Negara.
Kedaulatan RI adalah di tanganrakyat dan dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan
DPR (Pasal ayat (1) UUDS RI). Dari ketentuan ini dapatlah disimpulkan, bahwa UUDS RI menganut paham kedaulatan rakyat.
Pasal 2 UUDS RI menentukan bahwa RI meliputi seluruh daerah Indonesia. Yang dimaksud dengan "daerah Indonesia" itu ialah daerah Hindia-Belanda" dahulu, yang meliputi pula Irian Barat. Irian Barat (sekarang: Papua juga telah masuk wilayah kedaulatan RI meskipun de facto belum di bawah kekuasaan RI namun ia adalah de jure bagian dari wilayah RI.




Alat-alat kelengkapan negara ialah
  1. Presiden dan Wakil Presiden;
  2. Menteri-menteri;
  3. Dewan Perwakilan Rakyat;
  4. Mahkamah Agung;
  5. Dewan Pengawas Keuangan.
Apabila dibandingkan dengan K-RIS dan UUD 1945 maka UUDS RI ini tidak mengenal adanya senat (K-RIS) dan Dewan Pertimbangan Agung (UUD 1945). Lain daripada itu, UUDS RItidak mengenal adanya MPR (UUD 1945) sedangkan berbeda daripada K-RIS, UUDs RI mengenal adanya jabatan Wakil Presiden.
Berbeda dengan K-RIS dalam UUDS RItidak ada pasal yang dengan tegas menentukan siapakah yang dimaksud dengan "Pemerintah" itu.
Tetapi karena dalam Bab II Bagian I mengenai Pemerintah demikian, demikian  pula dalam Bab III Bagian I mengenai baik Presiden, Wakil Presiden, maupun menteri-menteri maka dapatlah ditafsirkan, bahwa yang dimaksud dengan "Pemerintah" ialah Presiden (Wakil Presiden bersama-sama dengan menteri-menteri.
Tugas pemerintahan ialah menyelenggarakan kesejahteraan Indonesia dan teristimewa  berusaha supaya UUD, undang-undang, dan peraturan lain dijalankan (Pasal 82 UUS RI).
Presiden ialah Kepala Negara dan dalam melaksanakan kewajibannya dibantu oleh seorang Wakil Presiden.Presiden dan Wakil Presiden harus warga negara Indonesia yang telah berusia 30 tahun dan tidak boleh orang yang tidak serta dalam atau menjalankan hak pilih ataupun orang yang telah dicabut haknya untuk dipilih (Pasal 45 ayat (5) UUDS RI).
Oleh karena pelaksanaan Negara Kesatuan  yang dahulu bersifat federal dan kini menjadi
Kesatuan, maka sendirinya Presiden RIS Ir. Soekarno beralih menjadi Presiden Negara Kesatuan RI.
Menurut ketentuan Pasal 45 ayat (4) UUDS maka untuk pertama kali Wakil Presiden diangkat oleh Presiden atas anjuran yang dimajukan oleh DPR. Atas dasar ketentuan ini, maka anjuran DPR dengan Keputusan Presiden RI tanggal 16 Oktober 1950 No. 27 telah diangkat Drs. Mohammad Hatta menjadi Wakil Presiden.




Tugas Wakil Presiden:
a.    membantu Presiden (Pasal 45 ayat (2) UUDS RI);
b.    mengganti Presiden sampai habis waktunya, jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya (Pasal 48 UUDS RI)
Jelaslah, bahwa menurut UUDS RI jika Presiden berhalangan, maka hanya Wakil Presidenlah yang dapat mewakilinya. Tetapi ketika Drs Mohammad Hatta mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden, sedangkan UU sebagai yang diharuskan oleh Pasal 45 ayat (3) UUDS RI, yakni UU yang mengatur pemilihan Presiden dan Wakil Presiden belum ditetapkan untuk menghindari kelowongan jabatan Presiden, apabila Presiden berhalangan melakukan tugas kewajibannya, telah ditetapkan UU No. 29 Tahun 1957 (LN 101-1957), tentang pejabat yang menjalankan pekerjaan Presiden. Jika Presiden mangkat, berhenti atau berhalangan sedangkan Wakil Presiden tidak ada atau berhalangan. Menurut UU ini dalam hal Wakil Presiden tidak ada atau berhalangan, jika Presiden berhalangan, Ketua DPR pekerjaan jabatan Presiden sehari hari. Demikian juga jika dalam keadaan yang sama, Presiden mangkat berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, Ketua DPR menjalankan pekerjaan jabatan Presiden hingga ada Presiden
Sama halnya dengan K-RIS, maka sistem kabinet ialah Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada Presiden.
Perbedaannya dengan beberapa ketentuan dalam K-RIS ialah
(1)      DPR RI (pertama) dapat memaksa kabinet atau masing-masing menteri meletakkan jabatannya. Sebagai imbangannya, maka Presiden berhak membubarkan DPR (Pasal 84 UUDS RI)
(2)      Kabinet UUDS RI tidak mengenal adanya menteri-menteri yang berkedudukan khusus. Untuk merundingkan bersama-sama kepentingan umum, menteri-menteri bersidang dalamDewan Menteri yang diketuai oleh perdana menteri atau dalam hal perdana menteri berhalangan, oleh salah seorang menteri yang ditunjuk oleh Dewan Menteri (Pasal 52 ayat (1) UUDS RI)
Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi menteri adalah sama dengan syarat-syarat bagi jabatan Presiden dan Wakil Presiden, hanya batas umur ditetapkan 25 tahun (Pasal 49 UUDS RI). Larangan merangkap jabatan umur ditetapkan 25 tahun (Pasal 49 UUDS RI). Larangan merangkap jabatan bagi Presiden, Wakil Presiden, dan Menteri ditetapkan dalam Pasal 55 UUDS RI yang pada pokoknya adalah sama dengan ketentuan Pasal 79 K-RIS. Negara Kesatuan RI mengenal system perwakilan monokameral (satu kamar, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR mewakili seluruh rakyat Indonesia, terdiri dari sejumlah anggota yang besarnya ditetapkan berdasarkan atas perhitungan setiap 300.000 jiwa penduduk warga negara Indonesia mempunyai seorang wakil (Pasal 56 UUDS RI). Dalam pada itu, golongan-golongan kecil Cina, Eropa, dan Arab akan mempunyai wakil dalam DPR dengan berturut-turut sekurang-kurangnya 9, 6, dan 3anggota (Pasal 58 ayat (1) UUDS RI. Apabila jumlah tersebut tidak dicapai dengan pemilihan umum, maka pemerintah RI mengangkat wakil-wakil tambahan bagi golongan-golongan kecil hingga mencukupi jumlah wakil minimal (Pasal 58 ayat (2) UUDS RI. Adapun pemerintah dalam mengangkat wakil-wakil tambahan ini sedapat-dapatnya dengan memperhatikan keinginan masing-masing.
umum oleh warga Negara.
Anggota DPR dipilih dalam satu pemilihan umum oleh warga negara Indonesia yang memenuhi syarat syarat dan menurut anuraamaarannang ditetapkan dengan UU (Pasal 57 UUDS RI yang dimaksudkan disini ialah UU Pemilihaa Umum yang penama UUNo. Taitaan 1953, LN No, 29 Tahun 1933).
Mengenai pemilihan umum yang pernama yang diselenggarakan diIndonesia untuk pemilihan para anganna DPR dan Konstituante diadakan pada tanggal 21 September 1955 santak memilie angewa DPR dan pada tanggal l Desember 1955 sartak memilih anggota Konstituante.
Masa jabatan para anggota DPR ialah 4 tahun Pasal 50 UUDS RI), syarat-syarat untuk boleh menjadi angaona DPR adalah sama dengan syarat-syarat yang ditetapkan bagi para menteri.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 77 UUDs RI maka DPR RI yang pertama terdiri dari
- Ketua, Wakil Wakil Ketua, dan anggota-anggota DPR:
- Ketua, Wakil Ketua, dan anggota anggota Senat.
- Ketua, Wakil Wakil Ketua, dan anggoca anggoa Badan Pekerja
- KNP dan Ketua, Wakil Ketua, dan angzota DPA
DPR pertama (sementara) ini meletakkan jabatannya dalam tahun 1956 ketika DPR (hasil pemilihan umum yang pertama dilantik).. Mengenai larangan merangkap jabatan bagi anggoca anggoea DPR terdapat ketentuan dalam Pasal 61 UUDS RI.
Hak-hak DPR ialah;
(1)      Hak memajukan usul UU (hak inisiatif Pasal so ayat (2) UUDS RI)
(2)      Hak budged (Bab III Bagian IV UUDS RI)
(3)      Hak amandemen atas usul UU dari pemerintah (Pasal 91 UUDS RI)
(4)      Hak interpelasi  dan hak menaya (Pasal 69 ayat (1) UUDS RI) dan
(5)      Hak enquete (hak menyelidik (Pasal 70 UUDS RI).
Disamping hak-hak DPR ini ada lagi hak menanyadari para anggota DPR (Pasal ayat (1) UUDS RI)
Konstituante menurut Pasal 134 UUDS RI bertugas beruama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD RI yang akan menggantikan UUD Sementara.
Lain daripada DPR Konstituante akan terdiri dari sejumlah anggota anggota yang besarnya ditetapkan atas perhitungan setiap 150.000 jiwa penduduk warga negara Indonesia mempunyai seorang wakil (Pasal 135 ayat (1)). Juga dalam Konstituante, RI memberikan jaminan bagi perwakilan golongan-golongan kepada Cina, Eropa, dan Arab, masing-masing dengan jumlah dua kali lipat dari jumlah perwakilan dalam DPR Jadi, berturut-turut 18, 12, dan 6 anggota (Pasal 135 ayat (3)). Juga sama halnya dengan yang ditentukan bagi DPR, bila jumlah minimal ini tidak dicapai dengan pemilihan umum, Pemerintah RIakan mengangkat wakil-wakil tambahan bagi golongan-golongan kecil yang bersangkutan hingga mencukupi jumlah minimal yang dijamah oleh UUDS RI. Dengan demikian, cara penunjukan para anggota Konstituante (uga DPR) dilaksanakan melalui dua jalan yaitu;
(1)      melalui pemilihan umum dengan cara bebas dan rahasia (Pasal 135 ayat (2) UUDS RI).
(2)      melalui pengangkatan oleh pemerintah (pasal 135 ayat (3) UUDS RI).
Adapun UU yang mengatur pemilihan umum seperti yang dimaksud di sini ialah UU Pemilihan Umum No 7 Tahun 1953, LN No. 29 Tahun 1953. UU ini mengatur sekaligus pemilihan umum bagi para anggota DPR dan Konstituante.
Pada umumnya, ketentuan-ketentuan di dalam berlaku bagi para anggota DPR, berlaku pula bagi para anggota Konstituante, misalnya ketentuan-ketentuan mengenai hak pilih aktif maupun hak pilih pasif. Demikian pulalah dengan ketentuan-ketentuan mengenai larangan perangkapan jabatan (inkompabilitas).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 137 UUDS RI, maka Konstituante tidak dapat bermufakat atau mengambil keputusan tentang Rancangan UUD baru atau bagian-bagiannya, jika pada rapatnya tidak hadir sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota Konstituante, sedangkan UUD baru berlaku jika rancangannya telah diterima dengan sekurang-kurangnya dua per tiga dari jumlah suara anggota yang hadir dan kemudian disahkan oleh pemerintah.

Apabila pada waktu Konstituante terbentuk belum diadakan pemilihan anggota-anggota DPR
maka Konstituante merangkap menjadi (Pasal 138 ayat (1) UUDS RI).
Untuk melaksanakan tugas tersebut Konstituante dapat membentuk sebuah Badan Pekerja (Pasal 138 ayat (2) UUDS RI). Badan Pekerj termaksud dipilih oleh Konstituante di antara anggota-anggotanya dan terdiri dari Ketua Konstituante sebagai ketua merangkap anggota dan sejumlah anggota yang besarnya ditetapkan berdasarkan atas perhitungan setiap 10 anggota Konstituante mempunyai seorang wakil. Badan Pekerja bertanggung jawab kepada Konstituante (Pasal 138 ayat (2) jo. Pasal 139 UUDS RI).
Tetapi nyatanya ketika Konstituante dilantik di Bandung pada tanggal 10 November 1956, DPR yang dibentuk berdasarkan pemilihan umum seperti yang dikehendaki oleh Pasal 57 UUDS RI telah ada dan bekerja ehingga ketentuan mengenai perangkapan Konstituante sebagai DPR tidak perlu dilaksanakan lagi.
Sebagai hasil pemilihan umum yang khusus diselenggarakan untuk pemilihan Konstituante pada akhir tahun 1955, maka pada tanggal 10 November pada hari Pahlawan, di Bandung  dilangsungkan pelantikan Konstituante RI oleh Presiden RI Ir. Soekarno. Dengan peristiwa itu, maka dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, untuk pertama kali, bersidanglah sebuah majelis yang dibentuk atas dasar suatu pemilihan umum untuk memulai pekerjaannya menetapkan UUD bagi negara dan bangsa Indonesia.
Pemilihan umum untuk Konstituante telah menghasilkan terpilihnya di seluruh Indonesia 514 anggota Konstituante. Di samping itu, telah diangkat pula oleh pemerintah 30 anggota tambahan, yakni 12 anggota tambahan dari golongan warga negara keturunan Cina, 12 anggota tambahan dari golongan warga negara keturunan Eropa, dan 6 anggota untuk mewakili daerah pemilihan Irian Barat, karena di daerah tersebut belum dapat diselenggarakan pemilihan (mengenai Irian Barat ini lihat Pasal 134 UU Pemilihan Umum yang telah disinggung di muka). Dari golongan warga negara Arab tidak ada yang diangkat lagi, karena golongan ini telah mencapai jumlah perwakilan minimal sebagaimana yang telah ditentukan dalam UUDS RI (Pasal 135 ayat (3)).
Pada permulaan tahun 1959 Presiden dan pemerintah (Kabinet Karya) yang menganjurkan kepada Konstituante supaya UUD 1945 ditetapkan menjadi yang menggantikan UUDS RI, sesuai dengan wewenang Konstituante menurut Pasal 134 UUDS RI.
Alasan yang antara lain dikemukakan oleh Presiden dan pemerintah (Kabinet Karya) untuk mengemukakan anjuran di atas ialah karena susunan pendirian yang terdapat dalam Konstituante Bandung adalah sedemikian rupa, sehingga tidaklah akan dapat memberikan harapan, bahwa Konstituante akan dapat memenuhi tugasnya seperti yang ditetapkan dalam UUDS RI.
Pemerintah pada tanggal 12 Maret 1959 memberikan keterangan mengenai putusan Dewan Menteri ini di hadapan sidang DPR, sedangkan pada tanggal 22 April 1959 Presiden menyampaikan amanatnya di hadapan sidang pleno Konstituante, yang memuat anjuran kepala Negara dan pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945.
Sesudah memusyawarahkan anjuran sejak tanggal 29 April 1959, akhirnya pada tanggal 30 Mei, 1 dan 2 Juni 1959 diselenggarakan pemungutan suara di Konstituante (Bandung) untuk menetapkan diterima atau tidaknya anjuran itu. Hasil pemungutan suara yang diselenggarakan itu menunjukkan, bahwa anjuran kepala negara dan pemerintah itu tidak memperoleh dukungan suara yang diperlukan, yaitu sekurang-kurangnya oleh dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir dalam rapat pleno Konstituante. Pemungutan suara mengenai anjuran ini telah diselenggarakan tiga kali berturut-turut dengan hasil sebagai berikut;
(1)      Pemungutan suara I, tanggal 30 Mei 1959. Hadir 478 anggota;, setuju 269, tidak setuju 199. Pemungutan suara ini dilakukan secara terbuka.
(2)      Pemungutan suara II, tanggal 1 Juni 1959. Hadir 469 anggota; setuju 264, tidak setuju 204. Pemungutan suara ini dilakukan secara tertutup.
(3)      Pemungutan suara III, tanggal 2 Juni 1959. Hadir 469 anggota;  setuju 263, tidak setuju 203. Pemungutan suara ini dilakukan secara terbuka.
Adapun hasil pemungutan suara ini memberikan suatu pertanda bahwa Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya. Hal ini antara lain dipertegas pula dengan adanya pernyataan-pernyataan dari sebagian besar anggotaKonstituante untuk tidak lagi menghadiri sidang pleno Konstituante. Maka atas dasar-dasar itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden RI/Panglima Tertinggi Angkatan Perang telah menetapkan'DEKRIT PRESIDEN RIAPANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG TENTANG KEMBALI KEPADA UUD 1945".

3.     Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Kembali kepada selaku UUD 1945
Pada hari Minggu, 1959, pukul 17.00 sore) Ir. Soekamo Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang mengeluarkan dekrit, yang menyatakan, bahwa terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit itu UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan tidak berlakunya lagi UUDS. Hal ini dilakukan atas nama rakyat Indonesia.
Dalam konsiderans dari dekrit itu, dikemukakan beberapa dasar pertimbangan bagi penetapan dekrit tersebut, yaitu;
a.    Anjuran Presiden/pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan amanah Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan
b.    dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam UUDS 1950.
c.    Sebagian besar anggota Konstituante (Sidang Pembuat UUD) itu  telah menyatakan pendiriannya untuk tidak menghadiri lagi siding Konstituante. Oleh karena itu, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan rakyat kepadanya
d.   Keadaan yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa, dan bangsa serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
e.    Dengan dukungan sebagian besar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan sendiri, Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi;
f.     Presiden berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstituante tersebut. Demikianlah dasar dekrit tanggal 5 Juli 1959 tersebut.
Dengan dekrit itu ditetapkan;
a.    Pembubaran Konstituante
b.    UUD 1945 berlaku kembali
c.    UUD 1950 tidak berlaku lagi;
d.   MPRS, pembentukannya akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya;
e.     Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) juga segera akan dibentuk








lsi lengkap dekrit presiden tersebut adalah sebagai berikut.

DEKRIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLI TERTINGGI ANGKATAN PERANG TENTANG KEMBALI KEPADA UNDANG UNDANG DASAR 1945

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa

Kami Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang, Dengan ini menyatakan dengan khidmat:
(1)       bahwa anjuran Presiden dan pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam UUDS;

(2)       bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian besar anggota Sidang Pembuatan UUD, untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya; bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaanketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur;

(3)       bahwa dengan dukungan bagian terbesar dari rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan terpaksa menempuh satu satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi.

(4)      bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan satu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIAIPANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
menetapkan pembubaran Konstituante;
menetapkan UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal
penetapan dekritinidan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara;
 pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditamb terdiri atas Dewan Perwakilan dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya.





Dilaksanakan di Jakarta
Pada Tanggal 5 Juli 1959
Atas nama Rakyat Indonesia/
Panglima Tertinggi Angkatan Perang





(SOEKARNO)






a.      Sistem pemerintahan  pasca kemerdekaan

Informasi Pada Sistem Pemerintahan Indonesia Tahun 1945-1949
Informasi pada sistem pemerintahan indonesia tahun 1945-1949 adalah berisi seputar badan badan negara. Pada periode ini, yang menjadi konstitusi negara adalah Undang-Undang Dasar 1945.  Memang awal mula kemerdekaan adalah menggunakan UUD 1945. Dan pada lama pada periode ini dari 18 agustus 1945 sampai dengan 27 desember 1949.
Yang pada saat kemerdekaan itu, dipilihlah presiden dan wakil presiden dari persetujuan kawan kawan pembela kemerdekaan yaitu yang sebagai presiden adalah Ir. Soekarno dan wakilnya adalah Drs. Mohammad Hatta. Presiden dan juga wakilnya menjabat dari awal periode sampai 19 desember 1948.
Dan yang menjadi ketua PDRI adalah Syafrudin Prawiranegara 19 desember 1948- 13 juli 1949. Pada periode ini, bentuk negara indonesia adalah negara kesatuan bentuk. Karena pada saat itu, bertujuan untuk mempersatukan wilayah negara yang dijajah oleh belanda dengan cara menyatukannya. Selain bentuk negara, pemerintahannya juga berbasis republik.
Itu merupakan informasi singkat mengenai sistem pemerintahan indonesia tahung 1945-1949. Jika anda mempunyai pertanyaan seputar sistem pemerintahan ini, silahkan anda bisa menyuarakan pendapat anda pada kolom komentar di bawah.
Informasi khusus mengenai sistem pemerintahan indonesia tahun 1945-1949
Informasi khusus ini diawali dengan pernyataan Van Mook yang tidak untuk berunding dengan Soekarno ini faktor utama dalam memicu perubahan sistem pemerintahan indonesia yang awal mulanya dari presidensial menjadi parlementer. Gelagat inipun sudah diketahui oleh pihak negara republik Indonesia. Pada saat sekutu datang, di sehari sebelumnya tepatnya tanggal 14 November 1945. Soekarno yang sebelumnya sebagai kepala pemerintahan republik indonesia ini diganti oleh Sutan Syahrir yang memang seorang sosialis yang banyak orang menganggap sebagai figur yang tepat untuk menjadi ujung tombak diplomatik. Bertepatan dengan itu pula, Di belanda sedang terjadi naik daunnya partai sosialis, sehingga ini merupakan strategi yang tepat untuk melakukan gencatan senjata dengan mengirimkan seseorang yang benar benar sosialis atau pintar dalam bergaul. Setelah Munculnya maklumat wakil presiden no. 10 tanggal 16 November 1945.
Setelah keluarnya maklumat wakil presiden itu, terjadi sebuah pembagian kekuasaan dalam dua badan negara, yaitu kekuasan legislatif yang dijalankan oleh KNIP atau Komite Nasional Indonesia Pusat dan kekuasaan yang lain masih tetap dipegang oleh Presiden sampai dengan tanggal 14 November 1945. Semua kekuasaan Eksekutif yang semula memang dijalankan oleh presiden akan beralihh ke tangan menteri karena konsekuensi dari bentuk sistem pemerintahan parlementer karena keluarnya maklumat pemerintah 14 November 1945.
INDONESIA MASA DEMOKRASI LIBERAL (1950-1959)
garudaPelaksanaan demokrasi liberal sesuai dengan konstitusi yang berlaku saat itu, yakni Undang Undang Dasar Sementara 1950. Kondisi ini bahkan sudah dirintis sejak dikeluarkannya maklumat pemerintah tanggal 16 Oktober 1945 dan maklumat tanggal 3 November 1945, tetapi kemudian terbukti bahwa demokrasi liberal atau parlementer yang meniru sistem Eropa Barat kurang sesuai diterapkan di Indonesia. Tahun 1950 sampai 1959 merupakan masa berkiprahnya parta-partai politik. Dua partai terkuat pada masa itu (PNI & Masyumi) silih berganti memimpin kabinet. Sering bergantinya kabinet sering menimbulkan ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Ciri-ciri demokrasi liberal adalah sebagai berikut :
-       Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat
-       Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah
-       Presiden bisa dan berhak berhak membubarkan DPR
-       Perdana Menteri diangkat oleh Presiden

A.  KABINET MASA DEMOKRASI LIBERAL
1)      Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951); Merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi.
Dipimpin Oleh : Muhammad Natsir
Program        :
a)      Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman
b)      Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan
c)      Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
d)     Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
e)      Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Hasil               :
Berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Kendala/ Masalah yang dihadapi      :
a)      Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan).
b)      Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS.
Berakhirnya kekuasaan kabinet         :
Adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.




B.  KABINET SUKIMAN (27 April 1951 – 3 April 1952)
Merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI.
Dipimpin Oleh: Sukiman Wiryosanjoyo
Program        :
a)      Menjamin keamanan dan ketentraman
b)      Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
c)      Mempercepat persiapan pemilihan umum.
d)     Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
Hasil               :
Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjtkan program Natsir hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman
Kendala/ Masalah yang dihadapi      :
Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika.
Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
Masalah Irian barat belum juga teratasi.
Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.
Berakhirnya kekuasaan kabinet         :
Muncul pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.

C.   KABINET WILOPO (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam biangnya.
Dipimpin Oleh : Mr. Wilopo
Program :
Program dalam negeri      : Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan.
Program luar negeri : Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Hasil : –
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.
Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.
Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno sehingga ia mengirim petisi mengenai penggantian KSAD kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan keamanana di Sulawesi Selatan.
Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi di berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen. Sementara itu TNI-AD yang dipimpin Nasution menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan. Tetapi saran tersebut ditolak.
Muncullah mosi tidak percaya dan menuntut diadakan reformasi dan reorganisasi angkatan perang dan mengecam kebijakan KSAD.
Inti peristiwa ini adalah gerakan sejumlah perwira angkatan darat guna menekan Sukarno agar membubarkan kabinet.
Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian KMB pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan memiliki tanah-tanah perkebunan. Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh para petani di Sumatera Utara dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953 muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan beberapa petani terbunuh.
Intinya peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden.

D.       KABINET ALI SASTROAMIJOYO I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Kabinet ini merupakan koalisi antara PNI dan NU.
Dipimpin Oleh : Mr. Ali Sastroamijoyo
Program        :
Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu.
Pembebasan Irian Barat secepatnya.
Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
Penyelesaian Pertikaian politik
Hasil               :

Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955.
Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi            :
Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet. Sebagai gantinya mentri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo tetapi panglima AD menolak pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD. Bahkan ketika terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955 tidak seorangpun panglima tinggi yang hadir meskipun mereka berada di Jakarta. Wakil KSAD-pun menolak melakukan serah terima dengan KSAD baru.
Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan.
Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya.
Berakhirnya kekuasaan kabinet   :
Nu menarik dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam kabinetnya inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya pada presiden.





E.        KABINET BURHANUDDIN HARAHAP (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Dipimpin Oleh     : Burhanuddin Harahap
Program              :
Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru
Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi
Perjuangan pengembalian Irian Barat
Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Hasil                     :
Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih konstituante). Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.
Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan oleh polisi militer.
Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin.
Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955 dengan mengangkat Kolonel AH Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi   :
Banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan.
Berakhirnya kekuasaan kabinet      :
Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet sehingga kabinetpun jatuh. Akan dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula.

F.        KABINET ALI SASTROAMIJOYO II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Dipimpin Oleh : Ali Sastroamijoyo
Program           :
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut.
Perjuangan pengembalian Irian Barat
Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Selain itu program pokoknya adalah,
-          Pembatalan KMB,
-          Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif,
-          Melaksanakan keputusan KAA.
Hasil                  :
Mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh perjanjian KMB.
Kendala/ Masalah yang dihadapi      :
Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat.
Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer seperti Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap mengabaikan pembangunan di daerahnya.
Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya pada orang Cina karena memang merekalah yang kuat ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat melindungi pengusaha nasional.
Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi dan parlementer.
Berakhirnya kekuasaan kabinet         :
Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.

G.       KABINET DJUANDA ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya. Dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950. Serta terjadinya perebutan kekuasaan antara partai politik.
Dipimpin Oleh : Ir. Juanda
Program           :
Programnya disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet - Karya, programnya yaitu :
-          Membentuk Dewan Nasional
-          Normalisasi keadaan Republik Indonesia
-          Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
-          Perjuangan pengembalian Irian Jaya
-          Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan
-           itu dilakukan untuk menghadapi pergolakan yang terjadi di daerah, perjuangan
-          pengembalian Irian Barat, menghadapi masalah ekonomi serta keuangan yang sangat buruk.
Hasil                  :
Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial. Melalui deklarasi ini menunjukkan telah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia dimana lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.
Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi terpimpin.
Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI.
Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
Kendala/ Masalah yang dihadapi      :

-          Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat. Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
-          Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
-          Terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah tempat putra-purinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan negara.
Berakhirnya kekuasaan kabinet         :
Berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.
Masa Demokrasi Terpimpin (5 Juli 1959 - 11 Maret 1966)
Politik hukum pada masa ini disebut “ Masa Demokrasi Terpimpin “atau lebih dikenal dengan       “Masa Orde lama “. Masa demokrasi terpimpin ini dimulai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. Alasan dikeluarkannya Dekrit Presiden tersebut adalah bahwa Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya untuk membuat Undang-Undang Dasar. Keadaan seperti ini dapat menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan kesatuan, dan keselamatan Negara. Pada tanggal 5 Juli 1959 tersebut Presiden RI mengeluarkan dekrit yang menyatakan pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945. Setelah keluarnya Dekrit tersebut, Presiden Soekarno memberikan kesempatan kepada DPR hasil Pemilu 1955 untuk tetap bekerja. Dengan berlakunya kembali UUD 1945 maka sistem pemerintahan yang dianut adalah Presidensiil, dimana Presiden yang menjadi Kepala Negara juga menjadi kepala Pemerintahan dan Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR tetapi kepada MPR.
Dalam masa ini sistem Presidensiil tersebut dianut tidak secara murni atau “Quasi”, karena Presiden masih bertanggungjawab kepada MPR dan Presiden dapat diberhentikan oleh MPR dalam suatu sidang istimewa MPR, atas perintah DPR apabila DPR menganggap Presiden telah melanggar GBHN.
Pada masa ini disebut Demokrasi Terpimpin karena arah kebijakan pemerintah yang dibentuk oleh Presiden dalam rangka kembali ke UUD 1945 adalah pemerintahan yang non demokratis dan sistem politik yang akan dibangun adalah sistem politik yang non demokratis pula. Hal itu dapat diamati dari definisi pada butir-butir pada ketentuan umumnya, antara lain yaitu:
-       Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia.
-       Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi disegala soal atau bidang kenegaraan dan kemasyarakatan, yang meliputi bidang-bidang politik, ekonomi dan sosial.
-       Konsekwensi dari prinsip Demokrasi Terpimpin adalah:
a)    Penertiban dan pengaturan menurut wajarnya kehidupan kepartaian sebagai alat perjuangan dan pelaksana cita-cita bangsa Indonesia dalam suatu Undang-undang kepartaian, yang ditujukan terutama kepada keselamatan negara dan rakyat Indonesia, sebagaimana diputuskan oleh Musyawarah Nasional pada bulan September 1957, dengan jalan yang demikian dapat dicegah pula adanya multi partai yang pada hakikatnya mempunyai pengaruh tidak baik terhadap stabilitas politik di negara kita.
b)   Menyalurkan golongan-golongan fungsional, yaitu kekuatan-kekuatan potensi nasional dalam masyarakat kita, yang tumbuh dan bergerak secara dinamis, secara efektif dalam perwakilan guna kelancaran roda pemerintahan dan stabilitas politik.
c)    keharusan adanya sistem yang lebih menjamin komunitas dari pemerintah, yang sanggup bekerja melaksanakan programnya, yang sebagian besar dimuat dalam pola pembangunan semesta.
Walaupun dalam butir (2) dari definisi Demokrasi terpimpin itu disebutkan bahwa Demokrasi Terpimpin bukanlah diktator, namun sangat berlainan dengan demokrasi Liberal, padahal dari ketiga definisi diatas, arah menuju diktator atau otokrasi ataupun otoriter nampak jelas. Karena campur tangan penguasa dalam semua aspek kehidupan masyarakat, dan masuknya golongan fungsional terutama TNI dalam konfigurasi politik secara formal akan menjadi kendala dalam sebuah negara yang demokrasi.
I. Format Politik
Format politik dalam masa Demokrasi Terpimpin adalah sejak munculnya Soekarno sebagai penguasa tunggal dan makin berperannya TNI dan PKI dalam sistem politik yang dibangun serta merosotnya peranan partai-partai politik. Soekarno tidak hanya berperan sebagai kepala negara Konstitusional, tetapi sudah menjadi kepala Eksekutif, pemimpin besar refolusi, dan Panglima tertinggi Angkatan Bersenjata.
Semua kekuasaan pemerintah berada ditangan Soekarno dan sesuai dengan konsep demokrasi terpimpin, maka Soekarno ikut campur tangan dalam semua aspek kehidupan masyarakat, dan berwenang mengeluarkan Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden tanggal : 5 Juli 1959.
Dari uraian diatas maka format politik atau ciri khas dari sistem politik pada Masa Demokrasi Terpimpin adalah:
1.    Munculnya Presiden Soekarno sebagai penguasa tunggal di Indonesia dan mengkonsentrasikan hampir seluruh kekuasaan penyelenggaraan negara kedalam tangannya, antara lain:
-          Mengangkat sendiri anggota-anggota MPRS, DPRS.
-          Menempatkan Mahkamah Agung sebagai pembantunya atau sebagai kabinetnya.
-          Memberi kuasa pada dirinya untuk mengeluarkan Penetapan Presiden, dan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Pemerintah 5 Juli 1959.
2.    Munculnya TNI, terutama Angkatan Darat sebagai kekuatan besar dibawah Soekarno.
3.    Munculnya PKI sebagai kekuatan baru dalam perpolitikan di Indonesia.
Pada akhir kekuasaan rezim Demokrasi Terpimpin ini, Presiden diharuskan memberikan pertanggung-jawaban kepada MPRS, pada Sidang Umum MPRS tahun1966, Presiden Soekarno menyampaikan Pidato “Nawaksara“ yang dianggap sebagai bentuk pertanggungjawaban Presiden kepada MPRS.
Namun pertanggungjawaban tersebut ditolak oleh MPRS karena tidak mencantumkan sebab-sebab terjadinya peristiwa G.30 S/PKI, Kemunduran Ekonomi serta kemunduran akhlak.
II. Konfigurasi Politik
Setelah dikeluarkannya Dikrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno memberikan kesempatan kepada DPR hasil pemilu 1955 untuk tetap bekerja sesuai dengan UUD 1945. Untuk mempertahankan kekuasaannya Presiden Soekarno mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain:
a)    Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1959, tentang tugas-tugas DPR harus sesuai dengan UUD-1945.
b)   Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1960, tentang Pembubaran DPR hasil Pemilu 1955.
c)    Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1960, tentang Pembentukan DPR GR
d)   Peraturan Presiden Nomor 156 Tahun 1960, Tentang pengangkatan DPR GR.
e)    Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1960, tentang Masuknya golongan fungsional dalam keanggotaan DPR GR.
f)    Penetapan Presiden Nomor 12 Tahun 1960, tentang susunan keanggotaan MPRS.
g)   Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960, tentang pengangkatan anggota MPRS.
h)   Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1960, tentang syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian.
i)     Keputusan Presiden Nomor 128 Tahun 1961, tentang pengakuan pemerintah hanya ada 8 (delapan) partai politik, yaitu : PNI, NU, PKI, PARTAI KATOLIK, PARTAI INDONESIA, PARTAI MURBA, PSII, dan IKATAN PENDUKUNG KEMERDEKAAN INDONESIA (IPKI).
j)     Keputusan Presiden Nomor 400 Tahun 1961, tentang pengakuan pemerintah terhadap penambahan 2 (dua) partai lagi, yaitu PARTAI KRISTEN INDONESIA dan PARTAI PERSATUAN TARBIAH ISLAMIYAH (PERTI).
Dengan demikian jumlah partai politik yang diakui menjadi berjumlah 10 (sepuluh) partai, ke sepuluh partai ini memiliki perwakilannya di DPR GR, sedangkan keberadaan Partai Masyumi, PSI dan lain-lain tidak diakui lagi. Tetapi sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan bahwa sistim politik yang non demokratis, maka jumlah wakil partai-partai politik di DPR GR hanya 130 orang dibanding wakil golongan fungsional yang jumlahnya 150 orang dan satu orang wakil dari Irian Barat.
Adapun komposisi keanggotaan DPR GR pada Masa Demokrasi terpimpin berjumlah 281 orang. Komposisi politik tersebut di atas, selain Presiden Soekarno sebagai penguasa tunggal, konfigurasi politik pada masa demokrasi terpimpin juga menunjukkan bahwa semua anggota DPR GR tersebut diangkat oleh Presiden, sehingga harus tunduk kepada kemauan Presiden. Dengan demikian semua keinginan Presiden dalam membentuk Undang-undang dan peraturan lainnya akan mudah tanpa ada kekhawatiran untuk ditentang oleh kekuatan-kekuatan politik dalam lembaga perwakilan tersebut. Akibatnya hukum yang dibentuk umumnya akan menjauh dari realitas social.
III. Politik Hukum
Politik hukum yang terjadi pada masa ini menghasilkan definisi Demokrasi terpimpin, yang mana politik hukum demokrasi terpimpin telah menetapkan hukum-hukum atau peraturan perundang-undangan yang mendukung konsep demokrasi terpimpin tersebut demi mempertahankan kekuasaannya. Politik hukum pada masa ini ditujukan untuk melaksanakan program yang telah disusun dalam Pembangunan Nasional Semesta Berencana, yaitu dengan cara menetapkan hukum atau perundang-undangan sebagai landasan yuridis yang mengatur pelaksanaan pembangunan. Karena itu, dengan politik hukum akan dapat diprediksi terciptanya hukum yang mengatur campur tangan pemerintah, terutama dalam bidang hukum itu sendiri dan perekonomian.
Untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintah dalam kerangka Demokrasi terpimpin, Presiden menempuh kebijakan yang mendua tentang bentuk peraturan perundang-undangan yang akan digunakan yaitu:
a.       Dalam rangka pelaksanaan UUD-1945, meliputi:
-          Ketetapan MPRS
-          Undang-undang
-          Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU).
-          Peraturan Pemerintah
-          Keputusan Presiden
b.      Penetapan Presiden, dengan peraturan pelaksanaannya.
Politik hukum yang ditempuh Presiden pada permulaan Masa Demokrasi Terpimpin adalah kebijakan untuk mengukuhkan kekuasaannya sebagai penguasa tunggal tanpa adanya perlawanan yang berarti dari legislatif. Namun menjelang berakhirnya masa demokrasi terpimpin ini pelaksanaannya sudah tidak mudah lagi, banyak pertentangan dan gejolak dalam masyarakat yang menentang kebijakan Presiden, dan kondisi perekonomian juga semakin merosot.
Untuk meredam pertentangan dan gejolak tersebut Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963, tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Kemudian dalam perundang-undangan Presiden juga mengeluarkan Undang-undang Nomor 19 tahun 1964, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sedangkan implikasi hukum terhadap UU No. 5 tahun 1950 setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden tersebut tetap berlaku, namun perkembangan selanjutnya menyebabkan penerapan politik hukumnya berbeda dengan periode sebelum dekrit 5 Juli 1959. Hal ini karena makin disadari bahwa kehidupan militer memiliki corak kehidupan khusus, disiplin tentara yang hanya dapat dimengerti oleh anggota tentara itu sendiri. Karena itu dirasakan perlunya fungsi peradilan militer yang diselenggarakan oleh anggota militer itu sendiri.
Pada tanggal 30 Oktober 1965 di undangkan Keputusan Presiden No. 22 tahun 1965, tentang perubahan dan tambahan beberapa pasal dalam UU No. 5 tahun 1950. Perubahan-perubahan tersebut adalah tentang pengangkatan pejabat-pejabat utama pada badan-badan peradilan militer.Dengan adanya ketentuan tentang pengangkatan tersebut, maka ketua pengadilan tentara dan pengadilan tentara tinggi, yang menurut ketentuan lama, karena jabatannya dijabat oleh oleh Ketua Pengadilan Negeri/Ketua Pengadilan Tinggi, sekarang di jabat oleh pejabat dari kalangan Militer sendiri.
Penyiapan tenaga ini telah dilakukan sejak tahun 1952 dengan mendirikan dan mendidik para perwira pada akademi hukum militer. Tahun 1957 angkatan I telah lulus kemudian melanjutkan ke Fakultas Hukum dan pengetahuan masyarakat, Universitas Indonesia.
Tahun 1961 merupakan awal pelaksanaan peradilan militer diselenggarakan oleh para perwira ahli/sarjana hukum, sesuai dengan Instruksi Mahkamah Agung Nomor 229/MA/1961, bahwa mulai September 1961 hakim militer sudah harus mulai memimpin sidang pengadilan tentara.
Dengan perkembangan tersebut di atas, dimulailah babak baru dalam penyelenggaraan Peradilan Militer. Perkembangan selanjutnya adalah bahwa anggota dari suatu angkatan Bersenjata diperiksa dan diadili oleh hakim dan jaksa dari angkatan yang bersangkutan. Perkembangan selanjutnya yang perlu mendapat perhatian adalah di undangkannya Undang-undang No. 3 tahun 1965 tentang memberlakukan Hukum Pidana Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara dan Hukum Disiplin tentara bagi Angkatan Kepolisian pada tanggal 15 Maret 1965. Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya UU. No. 23 tahun 1965 pada tanggal 30 Oktober 1965 yang menetapkan bahwa dalam Peradilan tingkat pertama bagi Tamtama, Bintara dan Perwira polisi yang melakukan tindak pidana di adili oleh badan peradilan dalam lingkungan angkatan kepolisian. Sebelumnya diadili di badan peradilan Angkatan Darat dan Angkatan Laut untuk yang kepulauan Riau. Dengan demikian lingkungan Peradilan Militer dalam pelaksanaannya terdiri dari:
1. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Darat
2. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Laut
3. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Udara
4. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Kepolisian




-         Daftar Pustaka –

Syafiie, Inu Kencana. 2011. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta

Simanjuntak, PHH (2003) Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal Kemerdekaan Sampai Reformasi (Cabinets of the Republic of Indonesia: From the Start of Independence to the Reform era), Penerbit Djambatan, Jakarta